Jakarta, Beritasatu.com - PT Freeport Indonesia mengungkapkan 15 bank dalam dan luar negeri tertarik membiayai pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur. Investasi smelter berkapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga itu sekitar US$ 2,7 miliar sampai US$ 3 miliar. Kucuran dana pinjaman ditargetkan pada Agustus mendatang.
Direktur Utama Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan kick off meeting dengan 15 bank itu dilakukan setelah libur Lebaran. Dia tidak memerinci bank mana saja yang tertarik mendanai proyek smelter. Namun, dia menyebut bank dalam negeri yang tertarik, antara lain bank milik pemerintah, sedangkan bank dari luar negeri, antara lain dari Jepang, Prancis, serta Inggris.
"Dari 15 bank ini kita lihat nanti berapa banyak yang tertarik membiayai," kata Tony dalam acara buka puasa dengan Forum Pimpinan Redaksi di Jakarta, Senin (27/5/2019).
Tony mengungkapkan lembaga perbankan tertarik membiayai lantaran melihat Freeport sebagai korporasi, bukan memperhitungkan proyek smelternya. Pasalnya, proyek ini tidak ekonomis lantaran nilai tambah konsentrat tembaga sudah mencapai 95%. Untuk mengolah konsentrat tersebut menjadi tembaga katoda nilai tambahnya hanya 5%, sementara investasi untuk menambah 5% tersebut mencapai US$ 2,8 miliar.
"Kami berkomitmen membangun smelter, meski proyek ini tidak menguntungkan," ujarnya.
Di tempat yang sama, Wakil Direktur Utama Freeport Orias Petrus Moedak menambahkan besaran pinjaman yang diharapkan nantinya dapat membiayai seluruh proyek. Dia optimistis kucuran dana tersebut bakal diperoleh pada Agustus nanti. Namun, dia belum bisa membeberkan tenor pinjaman karena masih disimulasikan.
Orias menuturkan pendanaan dari lembaga perbankan harus mendapat persetujuan dari pemegang saham, yakni PT Inalum (persero). Permohonan itu akan disampaikan setelah mendapat kepastian lembaga perbankan yang akan membiayai.
Dia menyakini pemegang saham akan setuju karena tidak perlu menyuntikkan dana untuk pembiayaan smelter. Namun, pemegang saham tetap harus membayar bunga pinjaman.
"Pinjaman US$3 miliar itu dari sindikasi perbankan. Tidak satu bank," ujarnya.
Lebih lanjut, Tony mengungkapkan pembangunan smelter berjalan sesuai dengan rancangan yang disampaikan ke pemerintah. Kemajuan proyek secara keseluruhan mencapai 3,86%. Realisasi itu hampir 100% dari rancangan periodik yang disampaikan ke pemerintah. Progres proyek itu berupa pemadatan lahan dan pengeluaran air dari dalam tanah. Kemudian, secara paralel juga dilakukan pemancangan, sambil menunggu kesiapan lahan lainnya.
"US$ 122 juta sudah dibelanjakan, maka tidak ada alasan untuk mundur," ujarnya.
Dia menyebut smelter memiliki produk samping berupa asam sulfat yang akan diserap oleh industri pupuk. Sudah ada beberapa industri yang tertarik menyerapnya.
"Kami sudah ada pembicaraan dengan Petrokimia Gresik. Kalau mareka tidak mau, ada perusahaan lain yang akan menyerap," ujarnya.
Pembangunan smelter itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah produk pertambangan. Pengolahan tersebut dilakukan di dalam negeri agar memberikan nilai tambah ekonomi bagi negara, pengelolaan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Selain UU Minerba, pembangunan smelter juga berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah terkait penerbitan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dalam kesepakatan itu dinyatakan pembangunan smelter selambat-lambatnya lima tahun sejak diterbitkannya IUPK. Adapun IUPK itu terbit pada 21 Desember 2018. Artinya, Freeport memiliki batas waktu hingga akhir 2023 mendatang. Dia optimistis smelter rampung tepat waktu.