JAKARTA – Sebanyak 18 pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) nikel dibangun tahun ini dengan total nilai investasi berkisar US$ 10-15 miliar. Produk yang dihasilkan smelter nikel antara lain nickel pig iron (NPI), feronikel, dan nikel sulfat. NPI dan feronikel adalah bahan baku utama baja tahan karat (stainless steel/SS), sedangkan nikel sulfat digunakan untuk membuat katoda baterai mobil listrik.
Tiongkok menjadi pemain dominan di industri pengolahan nikel Indonesia. Sebab, negara itu merupakan penghasil SS terbesar sejagat dengan total produksi 26,7 juta ton. Pemain terbesar SS dunia asal Tiongkok, Tsingshan Holding Group, telah memiliki basis produksi nikel dari hulu ke hilir di Indonesia, yakni di Morowali, Sulawesi Tengah.
Seiring dengan itu, pebisnis smelter mendukung penuh langkah pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel (nickel ore) mulai 1 Januari 2020 dari sebelumnya 2022. Hal ini bisa menjaga kepastian pasokan bahan baku sekaligus meningkatkan nilai tambah nikel di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Haykal Hubeis merespons positif percepatan larangan ekspor nikel. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah jangan galau lagi dalam merilis kebijakan soal nikel, karena hal itu berdampak pada keberlangsungan industri pengolahannya.
Dia menilai, industri smelter merupakan industri padat modal, sehingga membutuhkan keseimbangan di hulu dan hilir serta konsistensi kebijakan pemerintah. Dalam dua tahun terakhir, pemerintah mengizinkan kembali ekspor bijih nikel, namun mendadak melarang ekspor lebih cepat dari target.
“Investor dalam dan luar negeri melihat hal ini sebagai inkonsistensi kebijakan pemerintah. Saya melihat investor akan menilai pemerintah galau, meski maksud pemerintah sebenarnya baik. Tetapi, ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah supaya betul-betul meneliti, memahami, dan mempelajari semua hal sebelum mengambil keputusan signifikan, seperti kebijakan ekspor nikel,” ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Haykal menerangkan, keputusan penghentian ekspor bijih nikel akan berdampak positif terhadap industri pengolahan dan sejalan dengan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam UU ini, mineral wajib diolah di dalam negeri. Setelah UU itu berlaku, pertumbuhan smelter luar biasa pesat.
Selain itu, dia menuturkan, cadangan bijih nikel di Indonesia terus menurun. Jika ekspor terus dibiarkan, carangan itu hanya akan bertahan sampai tujuh tahun, berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Haykal menerangkan, untuk mencegah hal itu terjadi dan sebagai wujud tanggung jawab pemerintah kepada pebisnis smelter yang sudah beroperasi, kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel harus diambil. Kebijakan itu akan membuat umur lahan tambang nikel lebih panjang dan nilai tambah di dalam negeri semakin besar.
“Kalau kita ekspor nickel ore saja, itu hanya sekitar US$ 20 per ton, tetapi kalau sudah jadi feronikel bisa mencapai US$ 18 ribu per ton berdasarkan harga di London Metal Exchange (LME). Jadi, luar biasa peningkatan nilai tambahnya. Apalagi harga nikel saya pikir akan terus melesat, sehingga keputusan penghentian ekspor sudah tepat,” ujar dia.
Haykal mengatakan, tren investasi di industri smelter sangat positif. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat 18 proyek smelter nikel yang dibangun tahun ini senilai total US$ 10-15 miliar. Investasi itu didominasi pemain Tiongkok yang merajai bisnis nikel hilir dunia. “Investor lokal juga ada. Buktinya, sindikasi bank asing dan bank pemerintah aktif membiayai pembangunan smelter di Indonesia,” ujar dia.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan larangan ekspor bijih nikel mulai berlaku 1 Januari 2020, dua tahun lebih cepat dari rencana semula. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi keputusan itu. Pertama, untuk menjaga cadangan nikel. Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini cadangan terbukti komoditas nikel nasional Indonesia mencapai 698 juta ton. Cadangan ini hanya menjamin suplai bijih nikel untuk fasilitas pemurnian selama 7-8 tahun. Adapun cadangan terkira sebanyak 2,8 miliar ton. Untuk meningkatkan cadangan terkira menjadi terbukti masih memerlukan faktor pengubah, seperti kemudahan akses, perizinan, dan keekonomian.