Jakarta - Dalam upaya pemerintah mendukung hilirisasi mineral dalam negeri masih menghadapi tantangan. Salah satunya, terlihat dari tutupnya dua smelter nikel yang berhenti beroperasi sejak tahun 2016. Dua smelter tersebut milik PT Indoferro dan PT Cahaya Modern Metal Industri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono, mengungkapkan smelter nikel Indoferro berhenti beroperasi pada 19 Juli 2017, sementara untuk smelter nikel Cahaya Modern Metal Industri telah berhenti sejak tahun 2016 lalu.
"Fasilitas pemurnian nikel yang berhenti beroperasi itu Indoferro sejak 19 juli 2017, dan Cahaya Modern Metal Industri sejak Januari 2016 karena kenaikan harga kokas mencapai US$ 300 per ton," kata Bambang di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Dirinya menjelaskan, penyebab utamanya adalah faktor keekonomian yang menurun akibat meningkatnya biaya operasi (kokas) dan melemahnya harga komoditas mineral di awal tahun 2017.
"Penyebabnya, tingkat keekonomian dipengaruhi oleh harga bahan baku salah satunya adalah kokas yang memiliki porsi 40% dari total biaya produksi. Kemudian, harga kokas naik dari rata-rata US$ 100 per ton pada 2015 menjadi US$ 200-300 per ton," pungkasnya," kata dia.
Kendati ada yang Berhernti beroperasi, Bambang mengatakan, pihaknya masih optimistis mendorong upaya hilirisasi industri pertambangan dengan mendorong pembangunan smelter atau pabrik-pabrik pemurnian.
Kepercayaan dirinya karena masih banyak smelter lain yang terus beroperasi. Gatot menilai, dengan kebijakan peningkatan nilai tambah mineral telah mendorong investasi pada sektor Industri pengolahan dan pemurnian logam.
Tercatat sampai dengan Bulan Oktober 2017 investasi yang telah selesai ditanamkan untuk pembangunan fasilitas pemurnian nikel di dalam negeri mencapai US$ 5,03 miliar atau Rp 68 triliun.
"Investasi smelter nikel itu senilai Rp 68 triliun, mulai dari Vale, Antam, FBLN, sulawesi mining investment, Gebe Industry Nickel, Megah Surya Pertiwi, COR industri Indonesia, Heng Tai Yuan, dan lain-lain. Ini investasinya US$ 5 miliar atau 68 triliun," katanya. (dna/dna)