2022 Ada Perawatan Lagi, Vale Tancap Gas Produksi di 2023
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menyampaikan produksi nikel masih akan terganggu sampai 2022 mendatang akibat adanya perawatan.
Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan, Vale baru akan tancap gas produksi pada 2023 mendatang.
Dia mengatakan, dalam mencapai pendapatan dan profit, ada tiga variabel yang mempengaruhi, salah satunya adalah produksi. Dia mengatakan, selama tiga tahun ke depan kapasitas produksi Vale akan dipengaruhi beberapa hal.
"Selama tiga tahun ke depan 2021, 2022, 2023 kapasitas produksi PT Vale sangat dipengaruhi dua hal," ungkapnya dalam Public Expose Live 2021, Rabu (8/9/2021).
Dia menjabarkan, faktor pertama adalah jadwal pemeliharaan utama di pabrik pengolahan (smelter) nikel. Pada 2021 akhir, perusahaan akan mengeksekusi salah satu proyek yang akan rampung pada Mei 2022, sehingga ini akan memengaruhi produksi pada 2021 dan 2022.
Setelah itu, menurutnya produksi akan bisa kembali ke level normal seperti sebelumnya.
"Dengan kapasitas power terpasang, maka diharapkan setelah itu bisa bawa produksi kami ke level normal," lanjutnya.
Lalu, selain faktor produksi, kinerja keuangan perusahaan juga akan dipengaruhi oleh faktor harga dan biaya. Untuk harga memang di luar kontrol perusahaan, namun terkait biaya, menurutnya perusahaan akan tetap melakukan efisiensi biaya di tengah lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara saat ini. Namun karena perusahaan menggunakan sumber energi dari energi terbarukan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), maka perusahaan bisa menjaga biaya produksi.
Seperti diketahui, produksi nikel dalam matte Vale pada semester I 2021 tercatat sebesar 30.246 ton, turun 17% dibandingkan periode yang sama pada 2020 sebesar 36.315 ton.
Pada triwulan I 2021 produksi nikel matte Vale tercatat sebesar 15.198 ton dan triwulan II 2021 sebesar 15.048 ton, masing-masing 1% dan 20% lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2020.
Produksi pada semester I 2021 ini turun dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu karena adanya perawatan pabrik, baik terencana maupun tidak terencana. Baca: Ada Perawatan Smelter di H1, Vale Genjot Produksi Nikel di H2
Dengan adanya perawatan smelter, perusahaan menargetkan produksi nikel matte pada 2021 ini mencapai 64.000 ton, turun dibandingkan produksi pada 2020 yang sebesar 72.237 ton.
Lebih lanjut dia mengatakan, pihaknya telah menuntaskan pemeliharaan pada Juli, sehingga perusahaan bisa mengoptimalkan produksi pada paruh kedua tahun ini.
"Sampai Juli selesaikan pemeliharaan pertama, dan sisakan satu proyek besar. Perusahaan akan optimalkan produksi di paruh kedua 2021," tegasnya.
Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Pada 2020, cadangan nikel Indonesia disebut mencapai 72 ton Ni (nikel). Jumlah ini merupakan 52% dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139.419.000 ton Ni.
Data tersebut berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 dalam booklet bertajuk "Peluang Investasi Nikel Indonesia" yang merupakan hasil olahan data dari USGS Januari 2020 dan Badan Geologi 2019.
Besarnya cadangan nikel di Tanah Air ini menjadi salah satu pemicu banyak pihak luar melirik nikel Indonesia.
Namun bukan karena besarnya cadangan, ada faktor lain yang juga membuat perusahaan asing mengincar nikel Indonesia, baik mengincar dalam arti membeli atau bahkan berinvestasi di Indonesia.
Steven Brown, konsultan independen di industri pertambangan, mengatakan banyak pihak di luar negeri mengincar nikel di Indonesia karena selain besarnya cadangan bijih nikel di Indonesia, kualitas dan ongkos produksi nikel di Tanah Air jauh lebih murah dibandingkan di luar negeri.
Sementara di luar negeri, produksi bijih nikel kini lebih sulit karena perlu menggali lebih dalam, jumlahnya tak sebanyak di Indonesia, sehingga ongkosnya lebih mahal.
"..Suplai juga seimbang kalau dilihat terutama dari perkembangan di Indonesia. Suplai bisa keep up dengan demand. Tapi itu semua tergantung dari Indonesia. Jadi di luar Indonesia sama sekali gak keep up dengan demand. Jadi ini semua sangat bergantung pada satu negara (Indonesia)," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/08/2021).