a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

30 Smelter Jalan, Produksi Bijih Nikel RI Melonjak 3x di 2024

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia terus menggencarkan hilirisasi mineral dan batu bara agar memperoleh keuntungan lebih banyak dibandingkan hanya menggali dan menjual tambang mentah. Salah satu komoditas mineral yang pesat kemajuan industri hilirnya yaitu nikel.

Sebanyak 30 fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel baru kini sedang dibangun. Bahkan, tak hanya smelter bijih nikel, namun pabrik turunan lainnya seperti stainless steel hingga komponen baterai juga tengah dibangun.

Hal tersebut tentunya membutuhkan lebih banyak bijih nikel yang harus diproduksi. Ini pun telah masuk dalam rencana strategis pemerintah.



Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.16 tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian ESDM tahun 2020-2024, produksi bijih nikel diperkirakan naik hampir tiga kali lipat menjadi 71,40 juta ton pada 2024 dari tahun ini sekitar 19,31 juta ton.

Permen ESDM ini ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 18 September 2020 dan berlaku sejak diundangkan pada 25 September 2020.

Peningkatan produksi bijih nikel mulai terlihat pada 2021 menjadi 30,10 juta ton, lalu naik lagi menjadi 59,94 juta ton pada 2020, dan 71,74 juta ton pada 2023.

Sejalan dengan peningkatan produksi bijih nikel, bijih yang diolah di dalam negeri pun mengalami peningkatan. Bijih yang diolah di dalam negeri ditargetkan naik menjadi 52,14 juta ton pada 2024 dari 12,77 juta ton pada 2020 ini.

Ini artinya, meski pun belum sepenuhnya bijih nikel yang diproduksi itu diolah di smelter dalam negeri, namun terjadi peningkatan rasio bijih nikel yang diolah di smelter di dalam negeri menjadi 73% pada 2024 dari 2020 sekitar 66%.

Baca: 4 Pabrik Komponen Baterai Rp 43,5 T Dibangun di Morowali
Berdasarkan data dari Permen ESDM tersebut, bijih yang diolah di dalam negeri ditargetkan naik menjadi 21,32 juta ton pada 2021, lalu 43,58 juta ton pada 2022, dan 52,61 juta ton pada 2023.

Angka-angka tersebut merupakan indikator dalam rangka mengukur optimalnya ketersediaan mineral untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dan industri turunan lainnya.

"Rasio jumlah mineral untuk diproses dalam negeri terhadap produksi untuk mengukur seberapa besar mineral yang dapat diolah di dalam negeri dalam rangka peningkatan nilai tambah dibandingkan dengan total produksi dari jenis mineral tersebut," kata Peraturan Menteri ESDM tersebut.

Adapun utilisasi smelter nikel olahan seperti feronikel dan Nickel Pig Iron (NPI) pada 2024 ditargetkan naik menjadi 75% dari tahun ini 70%, dan nickel matte menjadi 95% dari tahun ini 90%.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan dari 48 smelter yang tengah dibangun saat ini dan ditargetkan beroperasi pada 2024 mendatang, sebanyak 30 smelter merupakan smelter nikel.

Dari 30 smelter nikel yang tengah dibangun, 13 smelter kemajuannya lebih dari 90%, lalu sembilan smelter capaiannya 30%-90%, dan delapan smelter kemajuannya kurang dari 30%.

Baca: Tak Hanya Freeport, Puluhan Smelter Juga Setop Gegara Covid
Selain nikel, ada delapan smelter bauksit, di mana dua smelter capaiannya lebih dari 90%, dua smelter 30%-90%, dan empat smelter kurang dari 30%. Lalu, ada empat smelter tembaga yang tengah dibangun, di mana dua smelter progress-nya lebih dari 90% dan dua lagi kurang dari 30%.

Terakhir, smelter besi, mangan, timbal dan seng, dari enam smelter yang tengah dibangun, ada tiga smelter yang capaiannya lebih dari 90% dan tiga lainnya antara 30%-90%.

Menurutnya, pembangunan smelter tersebut tertunda karena adanya pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas pekerja.

Namun, tak hanya smelter nikel, lima smelter dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang merupakan bahan baku komponen baterai juga ditargetkan bisa beroperasi pada 2023. Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak kepada CNBC Indonesia pada akhir Oktober lalu.

Bila bahan baku komponen baterai ini telah tersedia di Tanah Air, maka rencana Indonesia untuk membangun pabrik baterai lithium bukan lah hal mustahil.