Jakarta - Pembukaan kembali ekspor bijih bauksit dan nikel kadar rendah merugikan para investor yang sudah menggelontorkan uang untuk membangun smelter. Salah satu perusahaan yang dirugikan adalah Indoferro di Cilegon yang terpaksa melakukan PHK 600 orang karyawannya.
Kondisi tersebut merupakan salah satu contoh dampak negatif dari kebijakan pembukaan izin ekspor mineral mentah yang diberikan Kementerian ESDM. Kondisi itu, ternyata tak hanya menimbulkan kerugian bagi Indoferro melainkan juga seluruh perusahaan smelter alias pemurnian di Indonesia.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), puluhan smelter yang dibangun dengan nilai investasi sekitar US$ 12 miliar atau Rp 159,6 triliun (kurs Rp 13.300/US$), kini terancam bangkrut.
Sebabnya, karena tidak mampu membayar biaya operasional dan cicilan utangnya kepada lembaga keuangan. Utang tersebut untuk membangun pabrik pemurnian alias smelter.
"Sumber dari persoalan tersebut berawal dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, yang kemudian diikuti dua Peraturan Menteri (Permen) ESDM yakni Permen 5 dan Permen 6 Tahun 2017," kata Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handoyo dalam keterangan tertulis, Senin (31/7/2017).
Adapun Permen 5 mengatur tentang izin ekspor bijih nikel kadar rendah dan bauksit hasil pencucian (wash bauxite) selama 5 tahun bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang membangun smelter.
Sedangkan Permen 6 berbunyi, sebelum mendapatkan persetujuan ekspor, maka pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu wajib mendapatkan rekomendasi.
Sebelumnya, Kementerian ESDM telah memberikan rekomendasi ekspor bijih nikel kepada PT Ceria Nugraha Indotama dan PT Dinamika Sejahtera Mandiri, tertanggal 4 Juli 2017.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga, rekomendasi tersebut diduga cacat prosedur karena seharusnya rekomendasi ekspor bijih nikel dan bauksit diberikan apabila perusahaan telah menyerahkan dokumen studi kelayakan yang lengkap serta dinyatakan layak oleh tim penilai independen serta disetujui pemerintah.
"Tanpa hal tersebut maka dianggap ilegal," tegas Yusri.
Agar terang-benderang, Yusri meminta agar lembaga hukum pro aktif melakukan tindakan pencegahan terhadap adanya dugaan praktik penyimpangan dalam verifikasi rekomendasi ekspor yang telah dikeluarkan oleh Ditjen Minerba.
"Apakah perusahaan perusahaan tersebut benar menambang dan apakah betul mereka serius membangun smelter? Atau hanya akal-akalan saja soal progress yang dilaporkan kepada Ditjen Minerba, tetapi bisa berbeda kenyataannya di lapangan," sambung dia.
Dikatakan Yusri, verifikasi soal kemajuan pembangunan smelter ke lapangan oleh KPK menjadi sangat penting sebagai bagian pencegahan, karena adanya potensi dugaan praktik manupulatif soal progress pembangunan smelter.
Yusri menambahkan, apabila ekspor mineral logam mentah tidak segera dihentikan oleh pemerintah, maka Indonesia akan tercatat dalam sejarah sebagai negara yang gagal melakukan hilirisasi industri sumber daya alam. "Terpenting lagi tidak adanya kepastian hukum bagi investor smelter yang sudah berinvestasi," pungkas dia.