JAKARTA — Pelaku industri pemurnian logam masih menunggu regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah No 1/2017 yang poin pentingnya berisi tentang relaksasi keran ekspor nikel dan bauksit. Pasca penerbitan beleid itu, saat ini tercatat ada sembilan proyek investasi smelter yang tidak dilanjutkan pembangunannya.
Wakil Ketua Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo mengungkapkan se jumlah perusahaan yang menunda kelanjutan rencana investasi smelter itu masih menunggu sentimen positif dari pemerintah atas beleid turunan PP 1/2017.
Beleid turunan itu bisa menjadi pedang ber mata dua karena bisa menjadi payung hukum yang afi rmatif dalam mendorong kelanjutan niat investor membangun smelter. Namun, bisa juga isinya justru dapat mencemaskan kalangan investor dari sisi bisnis. “Yang kesembilan itu , saat ini sebenarnya sudah didirikan, tapi mereka tidak menyelesaikannya. Pa dahal, ada beberapa perusahaan yang me nargetkan smelter mereka beroperasi ta hun ini. Mesin-mesinnya sudah ada, tapi proyeknya tidak dilanjutkan,” jelas Jo nathan kepada Bisnis, Jumat (3/3).
Jonathan mengatakan untuk membangun sebuah smelter, industri menggelontorkan investasi sedikitnya USS10 juta per pabrik. Dengan ditundanya pembangunan hingga sembilan pabrik, potensi rea lisasi investasi smelter di Tanah Air pun bisa terganggu.
Dia mencontohkan salah satu perusahaan yang berencana mengoperasikan smelter pada 2017 ini adalah PT Macika Mineral Industri yang mengolah nikel dan berencana membangun pabriknya di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. “Mereka harusnya ingin menyelesaikan pada tahun ini. Lalu, ada juga PT Sulawesi Mining Investment yang un tuk sementara membatalkan dulu pem bangunan smelter ketiga mereka,” terang Jonathan.
Dia pun menyebut PT Blackspace, investor asal Rusia, turut menunda realisasi pembangunan pabrik pemurniannya. Belum lama ini, Tsingshan Bintang Delapan Group pun menyatakan relaksasi ekspor mineral membuat mereka harus menunda proses konstruksi smelter yang seharusnya dimulai pada Januari 2017.
Beberapa perusahaan lain yang masih wait and see atas peraturan pemerintah yaitu PT Jinchuan, PT Transon Bumindo Resources, PT Wan Xiang, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT Huadi Nickel.
PATAH ARANG
Sebelumnya, relaksasi ekspor mineral tertuang dalam PP No. 1/2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan ekspor mineral yang direlaksasi, industri pemurnian yang sejak 2012 berbondong-bondong membangun smelter langsung patah arang.
Pasalnya, mereka tidak lagi memiliki kepastian pasokan bahan baku. Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) I Gusti Putu Suryawirawan mengungkapkan potensi industri pemurnian mineral di dalam negeri sangat baik, didukung dengan cadangan logam, Indonesia yang ter masuk ke dalam 10 besar di dunia.
Meski ada sembilan proyek yang menurutnya masih dalam tahap pembangunan, Putu menggarisbawahi ada pula tiga pro yek baru yang masih dalam tahap pe rencanaan. Menurutnya, UU No. 4/2009 ten - tang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan ben tuk dorongan pemerintah pada in dustri pengolahan dan pemurnian mineral. “Untuk pengembangan in dustri berbasis mineral logam khususnya pengolahan bahan baku bijih nikel, saat ini difokuskan di kawasan Timur Indonesia,” kata Putu.
Adapun, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mencatat saat ini Indonesia memproduksi nikel murni sebanyak 175.000 ton melalui beberapa perusahaan. Sejumlah perusahaan itu di antaranya SMI, PT Indoferro, Antam, PT Guang Ching Nikel, dan PT Vale Indonesia Nickel. Adapun, total kapasitas terpasang mencapai 425.000 ton per tahun