Jakarta - Sebanyak 17 fasilitas pemurnian mineral (smelter) nikel berhenti operasi semenjak semester kedua tahun ini. Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal diambang pintu terhadap lebih dari 2.000 pekerja.
Perusahaan smelter terpaksa menghentikan produksi lantaran terus menelan kerugian akibat rendahnya harga nikel dunia. Pasalnya, biaya produksi mencapai US$ 10.000 per ton sedangkan harga nikel saat ini US$ 8.000 sampai dengan US$ 9.000 per ton.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Jonatan Handoyo, mengatakan empat perusahaan smelter telah melaporkan kepada pihaknya terkait langkah PHK tersebut. Sedangkan tiga belas smelter lainnya belum melaporkan langkah yang ditempuh oleh manajemen.
"Empat smelter yang sudah saya ketahui ada sekitar 2.000 karyawan. Pastinya, masih banyak lagi yang belum saya ketahui," kata Jonatan di Jakarta, Selasa (25/7).
Jonatan menuturkan, sejauh ini belum ada upaya signifikan dari pemerintah dalam membantu smelter-smelter tersebut. Padahal, kata dia, ketujuh belas smelter itu merupakan investor yang menanamkan modalnya di Indonesia seiring dengan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih mineral (ore) sejak 11 Januari 2014 silam.
Hanya saja, kata Jonathan, kebijakan itu dianulir pada 11 Januari 2017 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017. Bijih nikel kadar rendah dan bauksit hasil pencucian (wash bauxite) mendapat izin ekspor selama 5 tahun bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang membangun smelter.
"Sejauh ini, Presiden Jokowi baru memberikan teguran kepada Menteri ESDM (soal menerbitkan peraturan yang menghambat investasi)," ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Sujatmiko, membantah melemahnya harga nikel dunia disebabkan oleh kebijakan relaksasi ekspor sejak awal tahun ini.
Menurutnya, permintaan nikel industri stainless steel di kuartal kedua 2017 yang menurun, ditengarai menjadi penyebab utama lemahnya harga nikel dunia. Di saat yang bersamaan, harga coking coal (kokas) meningkat dari US $100/ton di Desember 2016 menjadi US $200/ton pada Mei 2017.
"Kerugian smelter nikel saat ini disebabkan karena turunnya harga jual dan meningkatnya biaya produksi," ujarnya.
Sujatmiko mengungkapkan, merujuk pada sumber data dari United States Geological Survey (USGS) Januari 2017, Indonesia memiliki cadangan nikel hanya 6 persen dari total cadangan dunia. Sedangkan pada tahun 2016 kontribusi produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia hanya sekitar 7 persen.
Produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia juga bukanlah yang terbesar, hanya sekitar 7 persen. Pemasok utama adalah Filipina lebih dari 22 persen, disusul Rusia dan Kanada yang masing-masing sekitar 11 persen. Sementara Australia dan Kaledonia Baru masing-masing sekitar 9 persen.
"Total cadangan Indonesia cuma 6 persen cadangan dunia. Jadi tidak tepat kalau dikatakan harga nikel dunia terkontrol oleh ekspor terbatas nikel kadar rendah dari Indonesia. Realisasi ekspor nijih nikel kadar rendah dari Indonesia untuk periode Januari hingga Juni 2017 hanya 403.201 ton," ungkap Sujatmiko.