APNI meminta ketegasan pemerintah dalam implementasi Permen ESDM nomor 11 tahun 2020
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta ketegasan pemerintah dalam implementasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020. Beleid tersebut mengatur tentang tata niaga dan harga nikel domestik yang harus mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM).
Menurut Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey, hingga bulan Juli ini, harga jual beli bijih nikel dari penambang ke smelter masih berdasarkan business to business (b to b), belum sesuai dengan aturan HPM yang ditetapkan pemerintah.
Padahal, sambung Meidy, Permen ESDM No. 11/2020 seharusnya sudah berlaku 30 hari sejak diterbitkan pada 14 April 2020. Artinya, seharusnya telah berlaku efektif mulai 14 Mei 2020. "Hingga saat ini sudah dua bulan sejak berlaku (Permen ESDM No. 11/2020) harga tetap berlaku B to B. Nggak ada satu pun yang diikuti," kata Meidy kepada Kontan.co.id, Senin (20/7).
Meidy memberikan gambaran, untuk bulan Juli 2020, HPM bijih nikel untuk kadar 1,8% ditetapkan sebesar US$ 30,15 per wet metric ton (wmt) dengan skema penjualan Free on Board (FOB). Namun menurutnya, harga yang dibeli oleh smelter lokal jauh di bawah itu, yakni sebesar US$ 20 per wmt secara FOB atau US$ 27 per wmt dengan memakai skema Cost, Insurance, and Freight (CIF).
Harga itu masih di bawah Harga Pokok Produksi (HPP). Pasalnya, biaya untuk memproduksi nikel kadar 1,8% ialah sebesar US$ 21,79 per ton dan estimasi biaya pengapalan antara US$ 5-US$ 6. Maka biaya CIF seharusnya US$ 26,79-US$ 27,79 per wmt.
Padahal, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menegaskan bahwa HPM logam nikel yang tercantum dalam Permen ESDM No. 11/2020 merupakan harga batas bawah (floor price) yang harus ditaati oleh penambang dan smelter.
Sekalipun harga transaksi lebih rendah dari HPM pada periode tertentu atau karena ada penalti atas mineral pengotor (impurties), penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3%.
Menurut Yunus, harga bijih nikel yang mengacu pada HPM pasti di atas HPP dari penambang dan merupakan harga keseimbangan untuk smelter. Sehingga, tetap memberikan margin keuntungan bagi penambang maupun pengusaha smelter. "Ini sudah mempertimbangkan kedua belah pihak, baik penambang maupun smelter. Itu artinya (harga nikel domestik mengacu pada HPM) sudah ada di posisi yang tengah," sebut Yunus.
Yunus pun mengatakan, pemerintah saat ini sedang membentuk aturan tugas (satgas) untuk melakukan pengawasan terhadap transaksi jual-beli bijih nikel dari penambang kepada smelter.
Satgas ini bertujuan untuk memastikan implementasi Permen ESDM No. 11/2020 bisa berjalan. Dia menargetkan, Satgas ini bisa segera terbentuk dan mulai bulan depan sudah bisa menjalankan tugasnya dalam mengawasi transaksi bijih nikel di smelter agar mengacu pada HPM.
Dari hasil pengawasan satgas ini, Yunus menegaskan bahwa pemerintah pun bakal memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar. "Oh iya, (bulan depan) sudah bisa berjalan dan tegas Mungkin baru bulan depan akan keluar sanksi-sanksi tersebut," sambung Yunus.
Namun, Meidy mengatakan bahwa Satgas tersebut belum tentu akan berjalan efektif. Apalagi menurutnya, Satgas tersebut diisi oleh Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang semuanya merupakan perwakilan dari pemerintah.
"Satgas orang pemerintah semua, hanya menerima data yang disampaikan. Datanya faktual nggak? intinya kan fakta di lapangan seperti apa," sebutnya.
Meidy menegaskan, para penambang meminta agar pemerintah bisa tegas agar tata niaga dan harga nikel domestik sesuai Permen ESDM No. 11/2020 bisa diterapkan. "APNI hanya meminta pemerintah tegas, sudah ada aturan, sudah ada Permen, kok smelter lebih galak dari aturan yang sudah ditetapkan pemerintah," pungkasnya.