Adu Panjat Harga Batu Bara dan Nikel, Saham Siapa Layak Dikoleksi?
Bisnis.com, JAKARTA – Komoditas batu bara dan nikel diperkirakan masih menjadi primadona, seiring dengan adanya perkiraan terus meningkatnya aktivitas produksi China dan tren kendaraan listrik. Sejumlah emiten di sektor tersebut pun siap untuk mereguk cuan.
Seperti diketahui, harga batu bara selama sebulan terakhir terus mengalami kenaikan. Salah satu penyebab kenaikan harga batu bara adalah penetapan batas atas harga impor batu bara dari China. National Development and Reform Commission (NDRC) China pekan lalu bertemu dengan perwakilan dari 10 perusahaan pembangkit listrik di negara tersebut.
Pada pertemuan itu, NDRC menyatakan perusahaan tidak boleh membayar harga batu bara di atas level 640 yuan atau US$97,80 per ton. NDRC juga memberi lampu hijau kepada para perusahaan untuk melakukan lebih banyak impor batu bara, kecuali asal Australia.
Analis meyakini konsumsi energi China akan tetap solid. Dengan demikian, permintaan batu bara China juga akan tetap atraktif. Sebagai catatan, sekitar 70 persen dari total pasokan energi Negeri Panda berasal dari pembangkit listrik termal, yang membutuhkan batu bara sebagai sumber bahan bakar.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan mengatakan prospek batu bara masih akan menarik dalam beberapa waktu ke depan. Secara keseluruhan, dia memproyeksikan harga batu bara masih akan terus melambung.
Adapun menurutnya, sentimen lainnya berasal dari ketegangan hubungan China dengan Australia. Oleh karena itu, Mirae Asset menilai ekspor batu bara Australia ke China akan semakin melambat dalam waktu dekat.