Bisnis.com, JAKARTA - Akhir November tahun lalu Kementerian ESDM menyatakan tengah mengkaji penerapan sanksi finansial berupa denda bagi eksportir mineral mentah (ore) dan konsentrat yang pembangunan smelternya tidak mencapai target. Awal Mei 2018, aturan mengenai hal tersebut diwujudkan.
Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada 3 Mei 2018, sanksi tersebut berupa denda 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri. Perlu diketahui, saat Kementerian ESDM mempresentasikan hasil kajian sementaranya di hadapan Komisi VII DPR akhir November lalu, besaran denda tersebut hanya 10%.
Denda 20% tentu bukan nilai yang sedikit. Oleh karena itu, ancaman serius tersebut diharapkan mampu melecut perusahaan yang membangun smelter untuk tetap fokus dan serius mengikuti rencana kerja yang sudah diserahkan ke Kementerian ESDM.
Dalam aturan yang sama, pembangunan fisik smelter harus mencapai minimal 90% dari target per periode evaluasi. Dalam hal ini evaluasi dilakukan per enam bulan.
Sanksi finansial tersebut pun melengkapi sanksi sebelumnya berupa pencabutan rekomendasi ekspor. Situasi bak jatuh tertimpa tangga bakal dialami perusahaan yang gagal memenuhi 90% dari target pembangunan fisik.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan kebijakan tersebut bakal mengukur tingkat keseriusan para eksportir ore dan konsentrat tersebut. Menurutnya, jangan sampai perusahaan tersebut hanya menikmati insentif tanpa berusaha memberikan nilai tambah melalui pembangunan smelter.
"Prinsipnya kegagalan membangun itu harus kena denda karena dia hanya mengambil keuntungan ekspornya saja. Berarti dia main-main," ujarnya.
Logika dalam kebijakan tersebut memang wajar. Pasalnya, dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, peningkatan nilai tambah melalui proses pengolahan dan pemurnian seharusnya sudah berjalan penuh pada 2014 lalu.
Memang terjadi perdebatan apakah ore dan konsentrat benar-benar tidak boleh diekspor sama sekali setelah 2014 atau tidak.
Terlepas dari itu, pemerintah sepakat bahwa ore dan konsentrat suatu saat tidak boleh diekspor lagi sama sekali. Dalam kebijakannya, pemerintah memberi waktu kepada perusahaan untuk tetap bisa mengekspor bijih nikel dan bauksit serta konsentrat hingga 2022.
Tentunya insentif tersebut bisa diperoleh dengan persyaratan yang ketat. Yang paling utama adalam membangun smelter.
Dengan kebijakan pemberian insentif itulah pemerintah melalui Kementerian ESDM merasa wajar dalam memberi persyaratan ketat kepada ekspor tersebut, termasuk pengenaan denda untuk perusahaan yang lalai.
Bagi perusahaan yang terkena denda, pembayaran tersebut disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi dalam jangka waktu paling lambat satu bulan setelah sanksi dijatuhkan. Apabila tidak dilakukan, maka akan dikenakan sanksi administratif tambahan berupa penghentian sementara atau sebagian seluruh kegiatan operasinya paling lama 60 hari.
Jika sampai masa penghentian operasi sementara denda tersebut belum juga dibayarkan, maka izin usahanya akan dicabut.
Di satu sisi, kebijakan tersebut terkesan positif karena diyakini bisa memacu perusahaan untuk menyelesaikan pembangunan smelter sesuai rencana. Di sisi lain, isu mengenai inkonsistensi pemerintah kembali jadi sorotan.
Konsistensi Pemerintah
Ketua Indonesian Mining Institue (IMI) Irwandy Arif mengatakan konsistensi pemerintah perlu dipertanyakan dalam kebijakan tersebut. Pasalnya, penerapan sanksi finansial tersebut diterapkan di tengah jalan.
"Seharusnya pemerintah tegas dengan aturan di awal pembangunan smelter. Apakah aturannya sama dengan aturan pada saat mereka membangun? Kalau sama artinya konsisten, tapi kalau aturan baru mungkin bermasalah," tuturnya kepada Bisnis.
Menurutnya, pemerintah dan perusahaan perlu mengacu pada perjanjian di awal pada saat perusahaan berkomitmen membangun smelter.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso mengatakan sejak awal, program hilirisasi mineral sudah sulit untuk diwujudkan. Pasalnya, banyak kesulitan yang pasti dialami oleh perusahaan.
"Program hilirisasi susah diwujudkan. Kesulitan dari sisi finansial, teknikal, dan kondisi lain yang dialami setiap pemegang berbeda-beda," katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, pemerintah tidak bisa menutup mata dengan membuat aturan yang ketat begitu saja di tengah jalan tanpa memikirkan akar masalah sulitnya membangun smelter.
Dukungan Antam
Meskipun aturan tersebut muncul di tengah jalan, salah satu eksportir bijih nikel, PT Antam Tbk. menilai kebijakan pemerintah menerapkan sanksi finansial tersebut sudah tepat.
"Saya rasa [sanksi finansial] sudah tepat," tutur Arie Prabowo Ariotedjo, Direktur Utama Antam, kepada Bisnis baru-baru ini.
Antam sepertinya memang 'pede' dengan proses pembangunan smelter feronikel di Halmahera Timur yang menjadi dasar pemberian rekomendasi ekspor bijih nikelnya. Menurutnya, pembangunan berjalan sesuai rencana.
Lalu bagaimana dengan smelter lain? Progresnya bervariasi mulai dari di bawah 5% hingga di atas 50%.
Yang jelas, kendati dari persentasenya banyak yang masih rendah, pembangunannya sejauh ini masih sesuai dengan rencana yang diserahkan ke Kementerian ESDM.
Dengan adanya denda 20%, tentunya perusahaan akan lebih fokus. Jika tidak, siap-siap saja pendapatan dari penjualan mineralnya tergerus plus kehilangan rekomendasi ekspor yang justru bakal berimplikasi pada pembangunan smelter yang makin berat untuk diwujudkan.