a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Antam Dikejar Waktu Berburu Pendanaan Pabrik Halmahera

Antam Dikejar Waktu Berburu Pendanaan Pabrik Halmahera
Jakarta, CNN Indonesia -- PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam) dikejar waktu mencari pendanaan untuk merampungkan proyek feronikel di Halmahera Timur, Maluku Utara. Pasalnya, perusahaan baru merampungkan satu fase pembangunan dan masih terdapat dua fase lain yang perlu diselesaikan.

Direktur Utama Antam Tedy Badrujaman mengatakan perusahaan baru akan melakukan fase pertama pembangunan pabrik feronikel dengan kapasitas produksi 13.500 ton nikel dalam feronikel (TNi) yang diharapkan rampung di 2018.

Namun, pembangunan itu masih setengah dari kapasitas total yang ingin dibangun perusahaan sebesar 27 ribu hingga 30 ribu TNi.

"Di Halmahera Timur itu rencananya akan ada tiga line, dan kami baru bisa bangun satu line dulu. Kami akan cari jalan pendanaan agar pembangunan fase-fase berikutnya bisa terlaksana dengan baik," ujar Tedy di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rabu (21/12).

Ia melanjutkan, salah satu opsi pendanaan yang sedang dipikirkan adalah pembiayaan perbankan. Namun menurutnya, perbankan baru mau membiayai perusahaan jika arus kas terbilang lancar. Sayangnya bagi perusahaan, pergerakan kas Antam agak terbatas setelah pemerintah melarang ekspor ore melalui Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009.

Padahal menurutnya, Antam juga memiliki ore nikel dengan kadar 1,8 persen yang masih diperebutkan di luar negeri namun menjadi residu bagi pabrik pengolahan nikel di dalam negeri karena kurang efisien untuk diproduksi.

Jika diperbolehkan untuk ekspor, perusahaan yakin arus kas kembali lancar, dan bisa meyakinkan perbankan untuk mendapatkan pembiayaan.

"Kalau memang ada dananya, kami bisa saja langsung membangun pabrik feronikel saat ini. Tapi ini kan tidak begitu, karena cash flow harus masuk agar bank memberi pinjaman. Bangun fasilitas pemurnian ini mahal, kecuali pemerintah meminta bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mau membantu," terangnya.

Tedy melanjutkan, perusahaan juga tidak bisa menggantungkan asa kepada Penyertaan Modal Negara (PMN) karena sukar untuk meyakinkan pemerintah.

Ia menuturkan, pendanaan pabrik feronikel tahap pertama ini menggunakan rights issue yang diserap menggunakan PMN dengan nilai Rp3,5 triliun tahun lalu.

Saat pertama kali mengajukan PMN tersebut, perusahaan masih optimistis karena harga nikel belum melandai dan pemerintah masih belum memberlakukan pembatasan ekspor mineral. Namun melihat kondisi harga saat ini, ia sangsi pemerintah masih mau memberi PMN.

Apalagi, dana sebesar Rp3,5 triliun itu masih separuh dari dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian tiga fase pabrik feronikel sebesar Rp6,8 triliun. Namun di saat yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap menuntut Antam untuk menyelesaikan smelter berkapasitas 27 ribu TNi.

"Jadi kalau misalkan tanpa ekspor, kami sulit mendapatkan modal tambahan untuk meneruskan dua line tambahan pabrik feronikel. Padahal, fokus kami rencananya bergerak ke arah Maluku Utara karena cadangan kami di sana terbilang lumayan," jelasnya.

EPC Wijaya Karya

Sembari mencari pendanaan, Antam juga telah menandatangani kontrak Engineering, Procurement, and Construction (EPC) dengan konsorsium PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan Kawasaki Heavy Industries pada hari Rabu (21/12).

Beberapa penunjang produksi yang akan dibangun antara lain rotary dryer berkapasitas 170 ton per jam, rotary klin sebesar 165 ton per jam, dan electric smelting furnace dengan daya 60 Megawatt (MW). Nilai kontrak tersebut tercatat Rp3,42 triliun.

"Pembangunan ini merupakan strategi hilirisasi perseroan untuk meningkatkan nilai tambah cadangan nikel," pungkas Tedy.

Mengutip data perusahaan, produksi feronikel Antam hingga kuartal III 2016 tercatat 14.393 TNi. Angka itu meningkat 12 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 12.838 TNi.

Kendati demikian, nilai penjualan feronikel perusahaan hingga September 2016 turun 30,04 persen menjadi Rp1,49 triliun dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp2,13 triliun. (gen)