Bisnis.com, SOROWAKO – Manajemen PT Vale Indonesia Tbk. belum memastikan arah tahapan proses divestasi perseroan kendati telah melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dalam hal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Deputy CEO Vale Indonesia Febriany Eddy, Kementerian ESDM belum juga memberikan jawaban formal serta keputusan resmi perihal kewajiban divestasi Vale Indonesia termasuk skema pelepasan saham yang mesti dilakukan.
Padahal, lanjut dia, perseroan telah menyiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk menjalani proses lebih lanjut namun terbentur oleh sikap pemerintah tak kunjung menerbitkan keputusan.
“Kami harapnya segera pemerintah [Kementerian ESDM] sudah ada keputusan, supaya Oktober 2019 sudah divestasi. Kami sudah siap dengan semua opsi dan skema, baik private placement, right issue atau lainnya, kami sudah siap,” tuturnya di Sorowako, Sulawesi Selatan, akhir pekan lalu.
Kendati demikikian, Febriany mengatakan bahwa sebagai listed company seluruh opsi yang memungkinkan dipersyaratkan pemerintah untuk proses divestasi juga bakal didiskusikan sesuai dengan ketentuan.
Pada sisi lain, dia juga sangat berharap agar korporasi yang nantinya ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyerap saham hasil divestasi Vale, memiliki kesamaan visi misi sehingga seluruh perencanaan fundamental bisa tetap maksimal berjalan serta berkelanjutan.
“Intinya adalah kesesuaian, pemerintah yang menentukan, tetapi yang penting menunjuk yang sesuai denga arah pengembangan bisnis Vale,” tuturnya.
Sesuai PP No. 77 Tahun 2014, Vale yang memiliki basis produksi di Sorowako, Luwu Timur-Sulsel ini hanya wajib mendivestasikan sahamnya sebanyak 40 persen.
Dalam peraturan tersebut, perusahaan yang membangun smelter memang hanya wajib mendivestasikan sahamnya minimal 40 persen saja.
Belakangan, aturan tersebut mengalami revisi keempat melalui PP No. 1 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa seluruh perusahaan penanaman modal asing (PMA) wajib mendivestasikan sahamnya hingga 51 persen setelah 5 tahun berproduksi.
Namun, Vale menyatakan kewajibannya tetap 40 persen sesuai kontrak yang telah diamandemen.
Saat ini, sebanyak 20 persen saham perseroan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah diakui sebagai saham divestasi. Artinya, Vale hanya perlu mendivestasikan 20 persen sahamnya lagi.
“Adapun untuk valuasi saham Vale untuk kewajiban divestasi, itu kajiannya ada sama pemerintah. Kami juga sebenarnya sudah punya, indikatornya dilihat di market saja,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM masih mengkaji kelayakan bisnis Vale Indonesia sebagai bagian dari valuasi saham yang di target rampung pada Agustus 2019.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, metode yang digunakan untuk mengkaji kelayakan bisnis perusahaan tersebut yakni biaya modal tertimbang rata-rata atau weight average cost of capital (WACC).
Adapun WACC memperhitungkan biaya modal suatu perusahaan yang terdiri dari saham, penggunaan utang, dan laba ditahan. Menurutnya, pemerintah masih melakukan persamaan persepsi mengenai kondisi WACC perusahaan tersebut.
“Jadi, kalau WACC semakin tinggi semakin kurang baik. Nanti semakin menjadi pengurang nilai dari divestasi saham itu,” katanya.
Menurutnya, divestasi saham Vale harus menguntungkan negara, demikian juga dengan valuasi saham harus sesuai dengan harga yang wajar.