Asosiasi Sebut Kebijakan Tambang Era Jokowi Terlalu Populis
Jakarta, CNBC Indonesia- Banyak kebijakan di sektor pertambangan yang dianggap investor terlalu populis. Kebijakan ini membuat investasi tambang di Indonesia sepi peminat. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan salah satu contoh kebijakan yang dianggap terlalu populis yakni terkait divestasi tambang mayoritas.
"Orang mau masuk ke sektor petambangan udah nggak bergairah karena sewaktu-waktu harus dialihakan ke pihak nasional," ungkapnya pada CNBC Indonesia.
Kemudian, kewajiban sektor penghiliran yang diterapkan, tidak mempertimbangakan keekonomian. Jadi orang yang sudah masuk untuk nambang masih harus membangun smelter. Lalu terkait eksplorasi, wilayah tidak diberikan dengan seluas-seluasnya. Perusahaan yang mau investasi besar, sudah mempertimbangkan konsesi. "Ya berikan sebesar-besarnya lah untuk eksplorasi, toh nanti diberikan ke negara," imbuhnya.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah royalti yang terlalu tinggi. Berbeda dengan negara lain seperti Chili dan Australia yang tarif royaltinya rendah. "Sehingga investasi pertambangan itu mereka pergi ke negara-negara yang lebih friendly bahkan negara tetangga kita juga," terangnya.
Lebih lanjut dirinya mengatakan overlapping aturan perpajakan juga menjadi pertimbangan investor. Sehingga eksplorasi nyaris sepi. Dalam dunia pertambangan menurutnya ada yang disebut junior companies. Mereka yang mengambil risiko untuk eksplorasi wilayah, apakah lahan itu ada potensi cadangan. "Semacam start up, kalau mereka dapat cadangan mereka bisa rising fund untuk menjadikan dia tambang atau dijual," ungkapnya.
Eksplorasi ini memiliki risiko tinggi, jika dapat lalu dijual mereka akan dapat berlipat-lipat. Tahun '80 -'90 an junior companies banyak datang untuk berinvestasi.
"Berlomba-lomba datang ke sini ada 200 an yang berinvestasi, beberapa tahun terakhir nggak sampai hitungan jari. Padahal kalau mau bicara mengenai investasi junior companies yang bisa cepat jika melihat iklim Indonesia yang bagus. Mereka langsung menjadi dana di stock exchange," ungkapnya.
Catatan ke depan yang perlu diperbaiki adalah jaminan kepastian investasi, karena sektor tambang adalah investasi jangka panjang. Berbeda dengan sektor ritel yang bisa sewaktu-waktu tutup. Hal lain yang perlu menjadi catatan yakni jangka waktu izin yang tidak kompetitif.
Menurutnya di negara lain bahkan ada yang tidak dibatasi, sekali masuk bisa 20-100 tahun sepanjang cadangan masih bisa mereka kelola. "Misalnya freeport yang izinnya sampai 2041 yang mungkin cadanganya bisa lebih. Yang kayak gini terkesan cukup populis, sehingga nggak bisa kompetitif dengan negara lain," terangnya.