a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Asosiasi Smelter Kecewa ESDM Takluk oleh Harita dan Antam

Asosiasi Smelter Kecewa ESDM Takluk oleh Harita dan Antam
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) kecewa dengan sikap pemerintah yang mudah ditekan oleh Harita Group dan PT Aneka Tambang atau Antam (Persero) Tbk, menyusul rencana relaksasi izin ekspor mineral.

"Harita dan Antam. Saya sendiri, orang yang berada di sekitar Antam kaget. Mereka merengek supaya diselamatkan, minta tolong diberikan relaksasi itu," ungkap Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo, Rabu (7/9).

Menurut Jonatan, Harita Group meminta relaksasi ekspor mineral karena sedang menyasar pasar baru dan bukan karena kesulitan keuangan membangun smelter.

"Dia bilang itu karena kesulitan dana padahal yang bangun investor dari China, bukan dia (Harita). Itu hanya alasan saja. Lalu Harita minta supaya pemerintah relaksasi bauksit (alumina) supaya dia bisa jual ore lagi. Dia berupaya menjual ke orang lain," jelas Jonatan.

Dia mengatakan, dua proyek smelter yang dikelola oleh anak perusahaan Harita Group, yakni PT Well Harvest Winning dan PT Megah Surya Pertiwi, sat ini telah memasuki tahapan penyelesaian. Dengan demikian tidak ada alasan bagi perseroan berlindung dibalik masalah finansial.

"Well Harvest itu menghasilkan alumina, nilai investasinya US$1,5 miliar. Nah, ini bahkan sudah selesai, bulan Agustus lalu bahkan sudah dibeli sendiri hasilnya sama yang bangun di China," tuturnya.

Demikian pula untuk proyek smelter nikel PT Megah Surya Pertiwi senilai US$320 juta. Menurutnya fasilitas pemurnian berkapasitas hingga 190 ribu ton per tahun di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara itu saat ini telah rampung sekitar 80 persen.

Terkait Antam, Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso mengakui BUMN tambang itu tengah mengalami masalah keuangan lantaran anak perusahaannya, PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) menelan kerugian dari proyek kerjasamanya dengan Jepang.

"Jangan karena segelintir kepentingan membuat negara mengorbankan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Ini yang kami minta pemerintah perhatikan," tambahnya.

Dewan Pembina AP3I Alexander Barus menilai, alasan kesulitan finansial korporasi selalu jadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan relaksasi aturan. Hal ini merupakan cerminan bisnis yang tidak rasional.

Bisnis yang rasional, menurut Alexander, seharusnya menempatkan sebuah perusahaan pada perencanaan keuangan yang matang dengan mempertimbangkan sumber dana yang telah dimilikinya saat ini.

"Kalau membangun perusahaan, equity sudah disiapkan 40 persen lalu mungkin 60 persennya dari bank. Jadi tidak masuk akal kalau mereka membangun baru cari cash flow, bukan bangun lalu minta diberikan ekspor untuk menutupi keuangannya," ujar Alexander.

Dari sini, AP3I menilai, permasalahan tersebut tidak bisa menjadi alasan pemerintah mengambil langkah relaksasi ekspor mineral karena bertentangan dengan komitmen Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

AP3I kembali menegaskan sebanyak 21 perusahaan anggotanya menolak kebijakan relaksasi yang kembali diwacanakan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan.

Selain itu, AP3I juga menuntut pemerintah memberikan jaminan kepastian pasokan mineral mentah bagi smelter yang telah berdiri dan beroperasi dengan menerapkan kewajiban pasok ke dalam negeri (domestic market obligation) untuk beberapa komoditas mineral ore dan konsentrat.

"Kepastian ini baik dari segi kualitas, kuantitas, dan nilai ekonomi atau harga sehingga smelter dalam negeri tidak kesulitan memperoleh bahan mentah," kata Prihadi.

Selain itu, AP3I juga merekomendasikan pencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Peraturan, Pembinaan, dan Pengembangan Industri. pencabutan beleid ini diyakini akan mengakhiri dualisme perizinan dan pembinaan industri smelter. (ags/gen)