Aturan Larangan Ekspor Bikin Pengusaha Nikel Rugi Rp50 Triliun
Jakarta: Rencana percepatan larangan ekspor bijih nikel berpotensi membuat pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) mangkrak.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berpendapat apabila pembangunan smelter mangkrak di tengah jalan, maka akan membuat pengusaha yang sudah berprogres dalam membangun merugi. Sebab ada biaya yang telah dikeluarkan untuk pembangunan tersebut.
Selama ini untuk membangun smelter, perusahaan menggunakan pendanaan dari hasil ekspor. Sehingga apabila ekspornya dihentikan maka tidak ada keuntungan yang didapat untuk membiayai pembangunan smelter. Akibatnya pembangunan smelter akan terhambat dan rencana hilirisasi tidak berjalan sesuai keinginan pemerintah.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Bendahara Umum APNI Antonius Setyadi menyebut kerugiannya pengusaha nasional yang sedang dalam progres pembangunan nasional sesuai amanat UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara mencapai Rp50 triliun.
"Sekarang sudah pada bangun smelter, dan mau ditutup dua bulan atau empat bulan lagi, maka kerugian pengusaha nasional sekitar Rp50 triliun," kata Setyadi di DPP APNI, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2019.
Saat ini menurut data APNI ada sekitar 26 perusahaan nikel nasional yang sedang melakukan progres pembangunan smelter. Sementara secara total ada sekitar 51 perusahaan yang mengajukan izin pembangunan smelter.
Oleh karenannya APNI mengharapkan agar pemerintah tidak mempercepat larangan ekspor bijih nikel di akhir tahun ini. Sebab, dalam kebijakan sebelumnya batas waktu pelarangan bijih mineral akan dimulai pada 2 Januari 2022. Sejalan dengan progres pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) yang harus diselesaikan di 31 Desember 2021.