JAKARTA. Kalau tak ada onak dan duri, Koalisi Masyarakat Sipil hari ini akan menggugat ke Mahkamah Agung terkait tiga peraturan sekaligus soal hilirisasi mineral yang sudah diterbitkan pemerintah. Ketiga aturan itu adalah Pemerintah Nomor 01 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Lalu, aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri ESDM No 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Permen ESDM No 6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanagara Ahmad Redi menyatakan, gugatan siap diajukan hari Rabu (29/3) dan pihaknya sudah melakukan konsultasi kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tentang dugaan maladministrasi penerbitan ketiga peraturan tersebut. "Kami memutuskan langsung ke MA pada hari Rabu," ujarnya kepada KONTAN, Senin (27/3).
Dalam gugatan, setidaknya ada dua poin utama dalam ketiga peraturan itu yang dianggap menyalahi Undang-undang No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba.
Pertama, adanya relaksasi ekspor untuk konsentrat dan mineral mentah selama lima tahun ke depan untuk pemegang Izin usaha Pertambangn (IUP) dan IUP Khusus (IUPK). Khusus mineral mentah, dalam hal ini, nikel dan bauksit, keran ekspornya sudah tertutup sejak tahun 2014. Menurut Redi, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 102, 103, dan Pasal Pasal 170 UU Minerba serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VII/2014.
Kedua, proses perubahan status kontrak karya (KK) menjadi IUPK dengan seketika. Menurutnya, dalam UU Minerba ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum ada perubahan status tersebut. Mulai dari penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN), yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga penetapan wilayah UPK yang harus ditawarkan terlebih dahulu pada BUMN.
Ketua Asosiasi Smelter Indonesia R Sukhyar menegaskan, dalam UU Minerba pasal 102 dan 103 mengatur, mineral mentah itu dilarang ekspor dan wajib dimurnikan dalam negeri. "PP 1/2017 terbit hampir sama dengan PP 77/2014 memang melanggar UU Minerba," ungkapnya.
Dirinya mempertanyakan soal kadar rendah 1,7% nikel yang akan diekspor, padahal banyak smelter yang ingin memakai. Adapun terkait perubahan KK menjadi IUPK harus dikonsolidasikan dengan DPR. Alasannya memang harus berubah menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang kemudian di tawarkan kepada BUMN. "Baiknya semua KK maupun IUPK itu di WPN-kan dulu, tak terkecuali Freeport," ungkap dia.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji mengatakan, penyusunan peraturan pemerintah dan turunannya sudah dikonsultasikan dengan DPR. "Perubahan kontrak karya menjadi IUPK sejalan dengan UU Minerba," katanya, yakin.
Dalam UU Minerba, kata Teguh, ada dua pilihan bagi wilayah bekas kontrak karya , yakni menjadi WPN dan penetapannya dikonsultasikan dengan DPR. Sedangkan wilayah eks kontrak karya menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak perlu melalui konsultasi ke DPR. "Menjadi WPN itu bila ketentuan kontraknya sudah habis, sedang sekarang sebelum kontrak habis bisa langsung menjadi IUPK," terangnya kepada KONTAN.