Bahana: Kinerja Emiten Tambang Terdongkrak Aturan Baru
JAKARTA – PT Bahana Securities memprediksikan kinerja sejumlah emiten pertambangan akan terdongkrak oleh aturan baru dari pemerintah. Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo mengambil langkah yang cukup mengejutkan pasar dengan merelaksasi aturan ekspor mineral.
Aturan diberlakukan ditengah sentimen positif yang sedang membayangi harga komoditas dan mineral secara global. Prospek harga saat ini mulai membaik dan beberapa kalangan sudah mengkonfirmasikan bahwa perbaikan harga ini masih akan berlanjut.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar pernah mengatakan, bagi pemerintah langkah penting ini diambil setelah melihat dan menerima masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Relaksasi ini diharapkan mampu memberikan rasa keadilan untuk semua pihak baik bagi perusahaan tambang Indonesia yang sudah memiliki teknologi yang maju maupun bagi perusahaan tambang asing yg beroperasi di Indonesia.
Dalam aturan baru tersebut pemerintah tetap konsisten meminta perusahaan tambang untuk membangun smelter di Tanah Air, makanya kuota ekspor masing-masing perusahaan akan sangat tergantung pada kemajuan pembangunan smelter. Melalui aturan baru ini, pemerintah juga secara tegas mengatakan akan memantau perkembangan pembangunan smelter yakni dalam masa 5 tahun smelter sudah harus selesai, setiap enam bulan pemerintah akan meminta laporan pembangunan smelter tersebut.
‘’Apa yang dilakukan pemerintah saat ini cukup beralasan, pemerintah paham kalau perusahaan perlu uang untuk membangun smelter makanya ijin ekspor di buka kembali, namun dengan tetap meminta laporan kemajuan pembangunan smelter,’’ kata Analis Bahana Securities Andrew Franklin Hotama dalam publikasinya kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (31/1).
Andrew menambahkan, untuk jangka panjang aturan ini akan membawa dampak positif bagi industri pengolahan dan pemurnian mineral Indonesia. Pemerintah menetapkan target kuota ekspor untuk nikel maksimum sebesar 7,8 Wet Metric Ton (WMT).
Dengan dibukanya kembali keran ekspor maka sisi produksi diperkirakan akan melebihi permintaan, akibatnya, harga nikel ambruk hingga dibawah US$ 10,000/ ton atau 16,8% di bawah harga tertinggi sepanjang 2016, yang sempat menyentuh level US$ 11,589/ton. (ely)