Ilustrasi : Petugas dengan menggunakan alat berat membongkar bangunan perkampungan penambang liar di Kampung Ciguha, Gunung Pongkor, Bogor, Jabar,
KARAWANG—Pelaku industri pengolahan dan pemurnian atau smelter meminta pemerintah memperbaiki tata niaga mineral tambang dengan memperkuat dasar hukum, karena masih banyak yang belum memiliki regulasi.
Muh. Santoso Halim, Ketua Komite Zircon Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengatakan hingga saat ini pemerintah belum mengatur tata niaga produk sampingan dari mineral Zircon seperti Ilmenite dan Rutile.
“Hingga kini pemerintah belum mengatur tata niaga Ilmenite dan Rutile, sehingga pengusaha smelter Tanah Air kesulitan mengolah bahan baku tersebut. Hingga saat ini kedua mineral hanya menjadi limbah tak bernilai,” ujarnya kepada Bisnis ketika menerima DPRD Kalimantan Tengah, Kamis (7/4/2016).
Anggota AP3I yakni PT Monokem Surya, satu-satunya smelter Zircon di Indonesia, lanjutnya, berniat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian Ilminate yang dapat menjadi pig iron dengan kandungan besi atau Fe minimal 90% serta Titanium Slag.
Kendati demikian, lanjutnya, hingga kini Monokem kesulitan membeli Ilminate dan Rutile yang notabene produk sampingan Zircon dari penambang, seiring belum adanya regulasi yang mengatur terkait pajak, royalti dan lainnya atas mineral tersebut.
“Belum ada aturan terkait kedua mineral itu. Bahkan ketika akan membelinya dari penambang, pemerintah daerah tidak mengerti, sehingga dipukul rata dikenakan pajak ekspor. Padahal fasilitas smelter akan dibangun di dalam negeri,” katanya.
Saat ini, lanjutnya, Monokem yang memiliki smelter Zircon telah menjual Zirconium Silicate Sand, Zirconium Silicate Flour, Micronized Zirconium Silicate baik ke pasar domestik maupun ekspor ke Malaysia, Thailand, Vietnam, China dan lainnya.
Kapasitas produksi perusahaan saat ini telah mencapai 2.000 ton Zircon Sand per bulan atau setara dengan 24.000 ton per tahun, 600 tonZircon Flour setara dengan 7.200 ton per tahun dan Micronized Zirconium Silicate 1.200 ton per bulan setara dengan 14.000 ton per tahun.
Berdasarkan data AP3I, nilai investasi awal Monokem sekitar US$16 juta. Pada tahun ini, perusahaan berencana memperbesar kapasitas produksi Zircon Sand menjadi 3.000 ton per bulan dan Micronized Zirconium Silicate menjadi 1.500 ton per bulan.
Namun, hingga saat ini realisasi pasokan bahan baku domestik yang hanya 4.000 ton per bulan atau 48.000 ton per tahun masih jauh lebih rendah dari kapasitas terpasang milik perusahaan. Perusahaan mendapatan bahan baku dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Keterbatasan pasokan bahan baku, lanjutnya, seiring dengan maraknya ekspor konsentrat Zircon ke China dan negara lainnya ketimbang penghiliran di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu mengatur tata niaga mineral ini guna menghasilkan nilai tambah lebih tinggi.
Haykel Hubies, Sekretaris Jenderal AP3I, mengatakan sejumlah smelter yang memiliki Izin Usaha Industri hingga kini kesulitan bahan baku, seiring dengan berhentinya aktivitas tambang di tengah harga komoditas yang lesu serta izin ekspor konsentrat.
“Tata niaga mineral tambang juga harus diatur seiring dengan ditutupnya ekspor mineral mentah. Selain itu, produk sampingan dari mineral juga harus diatur, karena memiliki nilai yang tinggi,” katanya.
Dalam hal ini, larangan ekspor mineral mentah oleh pemerintah pusat guna membangun hilirisasi di dalam negeri harus ditunjang oleh regulasi yang kuat, detil serta dijalankan oleh pemerintah daerah. Pasalnya, pemerintah daerah memiliki wewenang yang kuat terkait pertambangan.
M. Asera, Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, mengatakan hingga kini aktivitas pertambang mineral di wilayahnya tidak berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
“Selama ini Puya atau Zircon Ore yang ditambang hanya dicuci-cuci menjadi konsentrat kemudian di ekspor tanpa memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Kami inginnya smelter Zircon dibangun di Kalteng sehingga menumbuhkan ekonomi daerah,” tuturnya.