Begini data sumber daya logam tanah jarang di Indonesia versi Badan Geologi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) kembali menjadi sorotan. Pasalnya, LTJ bisa menjadi komoditas strategis dalam pengembangan industri mutakhir, termasuk untuk industri pertahanan.
Pelaksana Tugas Badan Geologi Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman mengatakan, penelitian dan usaha pengembangan LTJ di Indonesia sebagai komoditas prioritas tinggi yang bisa diusahakan, baru marak dilakukan dalam lima tahun terakhir. Langkah itu termasuk juga penyusunan peta penyebaran LTJ dan investarisasi potensi keberadaannya secara kuantitas.
"Badan Geologi sendiri selama ini secara rutin (melakukan pengkajian). Umumnya sebatas prospeksi untuk mencari indikasi atau sumber daya hipotetis," kata Saleh kepada Kontan.co.id, Minggu (19/7).
Kata dia, Badan Geologi sudah melakukan eksplorasi di sejumlah daerah. Kegiatan ekplorasi tersebut dikerjakan dalam beberapa tahun terakhir di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Berdasarkan data yang terhimpun hingga tahun 2019, tergambar sumber daya hipotetik di sejumlah pulau tersebut.
Baca Juga: Pengembangan logam tanah jarang masih di tahap awal, begini prospek dan tantangannya
Saleh membeberkan, sumber daya hipotetik di Sumatera sekitar 23 juta ton dengan tipe endapan LTJ Laterit, beserta 5 juta ton LTJ dengan tipe tailings. Sedangkan di Kalimantan, sumber daya hipotetik LTJ sekitar 7 juta ton dengan tipe tailings dan di Sulawesi sekitar 1,5 juta ton dengan tipe laterit.
"Sumber daya tersebut masih bersifat hipotetik dan tereka, jadi perlu eksplorasi lanjut," sebut Saleh.
Dia tak menampik, kerangka regulasi dari sisi pengembangan dan pemanfaatan memang diperlukan. Mulai dari regulasi di bawah Kementerian ESDM hingga pengolahan hilir di sektor perindustrian.
"Saya kira regulasinya ikut hilirisasi, artinya harus diproses di dalam negeri untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi seperti diatur di UU Minerba," kata Saleh.
Namun, hingga sekarang, Izin Usaha Pertambangan (IUP) REE/LTJ memang belum ada. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua Umum Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI), STJ Budi Santoso, pengelolaan LTJ saat ini masih mengikuti IUP komoditas mineral induk seperti IUP timah, aluminium, dan nikel.
Baca Juga: Limbah tambang sisa industri pertambangan bermanfaat lo! Ini rekomendasi Perhapi
Menurut Budi, PT Timah Tbk. merupakan satu-satunya perusahaan BUMN yang diketahui sedang melakukan kajian dan mendapatkan mandat dari pemerintah untuk terjun dalam bisnis pengembangan LTJ dari hulu hingga hilirnya.
Sebab, hingga saat ini LTJ dalam ikutan timah dinilai paling memungkinkan untuk dikembangkan. Merujuk yang disampaikan oleh Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak, ada tiga sumber potensi LTJ yang telah diidentifikasi.
Pertama, dari pertambangan timah yang menghasilkan monasit (La, Ce, Nd, dll.). Kedua, dari tambang bauksit yang menghasilkan Yttrium (Y). Ketiga, dari nikel yang masih dalam kajian memiliki potensi Scandium (Sc).
Budi menyebut, jenis yang pertama paling memungkinkan untuk dikembangkan dan sudah banyak studi yang tersedia. "Sementara yang kedua dan ketiga relatif baru dan kemungkinan keekonomisannya masih tantangan," sebut Budi.
Senada dengan itu, Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif mengungkapkan, pengembangan LTJ di Indonesia cukup prospektif. Pemertaan sumber daya LTJ sudah dilakukan pada tahap awal. Hingga kini, sudah ada produksi monasit di PT Timah.
Menurut Irwandy, tantangan ke depan dalam pengembangan LTJ maupun monasit secara khusus ialah hal yang menyangkut dengan eksplorasi dan produksinya, termasuk keekonomian atau kelayakan secara bisnis. "Roadmap secara terintegrasi belum ada, namun sudah mulai disusun Prospek Pengembangan LTJ ini," imbuh Irwandy