Begini pogres smelter dan skema kenaikkan penerimaan negara dari Freeport Indonesia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses divestasi 51,23% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh PT Indonesia Asahan Aluminium telah rampung pada 21 Desember 2018 lalu. Selesainya divestasi ini sekaligus menandai perubahan status PTFI dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang dampaknya diharapkan bisa memberi peningkatan terhadap penerimaan negara.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin memaparkan perhitungan penerimaan negara yang meningkat pasca perubahan status PTFI dari KK menjadi IUPK. Menurut Budi, skema ini merupakan hasil simulasi dari Kementerian Keuangan.
"Ini adalah hasil simulasi dari kementerian keuangan. terhadap penerimaan negara. Kita bisa lihat juga bahwa penerimaan negara ini meningkat," kata Budi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (15/1).
Dalam RDP tersebut, Budi memaparkan skema dan simulasi penerimaan negara pada saat rezim KK pada tahun 1991 dengan IUPK yang diterima PTFI pda 21 Desember 2018 lalu. Melalui paparan tertulis yang dijelaskan Budi, disebutkan bahwa Pajak Penghasilan Badan dan penghasilan sebelum pajak yang dibayar PTFI ketika masih memegang KK adalah 15% untuk pendapatan kena pajak hingga Rp 10 juta, 25% untuk pendapatan kena pajak Rp 10 hingga Rp 50 juta, dan 35% untuk pendapatan kena pajak di atas Rp 50 juta.
"Sedangkan dalam IUPK, Pajak Penghasilan Badan yang wajib disetor (PTFI) 25%," ujar Budi.
Dalam rezim KK, tidak ada keterangan jelas soal Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari keuntungan bersih. Namun, di dalam IUPK, kewajiban tersebut diatur dengan porsi 10 % setelah keuntungan bersih, dengan rincian 6% ke pemerintah daerah dan 4% ke pemerintah pusat.
Lalu, untuk rata-rata setiap tahun Pajak Bumi Bangunan, pada rezim KK, PTFI hanya membayar kurang lebih US$ 15 juta, sedangkan dalam IUPK PTFI wajib membayar US$ 65 juta atau bisa lebih dari itu.
Selanjutnya, untuk dalam KK, Pajak Air Permukaan yang dibayar PTFI rata-rata setiap tahunnya hanya sekitar US$ 0,2 juta, sementara dalam IUPK PTFI wajib bayar US$ 15 juta. Kemudian untuk royalti tembaga, dalam KK diatur sebesar 1,5%-3,5%, namun dalam IUPK meningkat menjadi 4% dari harga jual.
Untuk royalti emas, dalam KK PTFI hanya dikenakan 1% dari harga jual, sedangkan dalam IUPK PTFI dikenakan 3,75%. Sedangkan untuk royalti perak, PTFI sebelumnya dikenakan 1%, tapi kini naik menjadi 3,25% dari harga jual. "Mudah-mudahan ini bisa bermanfaat bagi pemerintah Indonesia, dengan kondisi bahwa kita menjaga kultas operasional dan produksi tambang bawah tanah dari PTFI," jelas Budi.
Progres Pembangunan Smelter
Selain penerimaan negara yang lebih tinggi, setelah menjadi IUPK, PTFI juga diwajibkan menjalankan komitmennya untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter). Hingga saat ini, menurut Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak, progres pembangunan smelter PTFI masih dievaluasi oleh tim verifikator independen.
Pembangunan smelter PTFI ini bisa saja mengalami penyesuaian dari rencana awal. Sebab, sebelum mengantongi IUPK dari pemerintah, PTFI mesti membangun smelter paling lambat lima tahun setelah Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 terbit, yang artinya PTFI memiliki tenggang waktu hingga tahun 2022 untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Tapi, setelah pemerintah menerbitkan IUPK pada 21 Desember 2018 lalu, tenggang waktu menjadi berubah, karena kewajiban membangun smelter dihitung lima tahun sejak IUPK diterbitkan.
Apalagi, Yunus mengatakan bahwa secara psikologis, investasi PTFI untuk membangun smelter sebelum mendapatkan IUPK masih belum optimal karena masih belum mendapatkan kepastian untuk melanjutkan operasi. "Kalau mau investasi smleter tapi IUPK belum pasti, mau gak? kemarin kan belum. Setelah dapat IUPK, kan sudah yakin," ujar Yunus.
Alhasil, saat ini Yunus masih menunggu laporan verifikasi yang ditargetkan dapat diterimanya pada 21 Januari nanti. "Hasilnya nanti mereka mengajukan semacam verifikasi daru verifikator pada tanggal 21 Januari," imbuhnya.
Saat dimintai konfirmasi mengenai pembangunan smelter ini, Direktur Utama PTFI Tony Wenas masih enggan memberikan keterangan. Hanya saja, ia menyebut bahwa pihkanya akan menyampaikan laporan kepada Kementerian ESDM pada pekan depan. "Nanti saya sampaikan ke (Kementerian) ESDM, pekan depan," ujarnya.