Belum Bangun Smelter, Perusahaan Tambang Wajib Bayar BK
Jakarta, EnergiToday - Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, perusahaan-perusahaan tambang yang belum selesai membangun smelter bisa tetap mengekspor konsentrat dengan membayar bea keluar (BK) seperti sekarang.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah memfinalisasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP 1/2014).
Luhut mengatakan, di dalam PP 1/2014, relaksasi ekspor konsentrat atau bahan tambang mentah dibatasi sampai 11 Januari 2017. “Setelah itu hanya mineral atau bahan tambang yang telah melalui proses pemurnian yang boleh diekspor, tidak ada lagi ekspor konsentrat,” ujarnya belum lama ini di Jakarta.
Melalui revisi aturan ini, menurut Luhut, relaksasi ekspor konsentrat diperpanjang antara 3 sampai 5 tahun sejak PP baru diberlakukan. Selama masa perpanjangan relaksasi ini, diharapkan perusahaan-perusahaan tambang dapat memenuhi kewajibannya melakukan hilirisasi mineral di dalam negeri dengan menyelesaikan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral).
Luhut menjelaskan, BK yang baru akan disusun bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Prinsipnya sama, besar BK tergantung perkembangan smelter yang dibangun, semakin baik progres smelter maka semakin rendah BK yang harus dibayar. Hanya saja, relaksasi kali ini lebih luas, akan lebih banyak komoditas mineral yang bisa diekspor.
“Perusahaan-perusahaan yang sedang membangun smelter, itu kita berikan peluang relaksasi secara bertingkat sesuai progres pembangunan smelternya, dan diawasi. Dia harus membayar bea keluar yang akan kita terapkan bertingkat sesuai progres pembangunan smelter. Angkanya nanti kita susun bersama Kementerian Keuangan,” ujarnya belum lama ini di Jakarta.
Selain itu, tambahnya, tak hanya konsentrat saja, Pemerintah juga membuka kemungkinan pembukaan keran ekspor beberapa jenis mineral mentah, misalnya biji nikel dengan kadar rendah.
“Nikel yang kandungannya 1,8% ke bawah di dalam negeri tidak bisa diproses, mungkin kita pertimbangkan untuk diekspor,” tandasnya. [us]