Belum Punya Smelter, PT JMI Tak Kunjung Menambang Logam di Kulonprogo
' />
TRIBUNJOGJA.COM - Tak kunjung beroperasinya PT JMI sejak mengantongi izin pada 2012 silam, mengundang tanda tanya besar.
Pemerintah Daerah (Pemda) DIY pun sejauh ini belum mengetahui secara pasti kendala apa yang dihadapi perusahaan itu.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY, Budi Wibowo menuturkan, lokasi penambangan seluas 54 hektare yang berstatus Pakualaman Ground, sudah jelas legal hukumnya.
TRIBUNJOGJA.COM - Tak kunjung beroperasinya PT JMI sejak mengantongi izin pada 2012 silam, mengundang tanda tanya besar.
Pemerintah Daerah (Pemda) DIY pun sejauh ini belum mengetahui secara pasti kendala apa yang dihadapi perusahaan itu.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY, Budi Wibowo menuturkan, lokasi penambangan seluas 54 hektare yang berstatus Pakualaman Ground, sudah jelas legal hukumnya.
"Lahan 54 hektare itu untuk areal pabrik, sudah tidak ada masalah. Jadi, sekarang sertifikatnya sudah ada di Puro (Pakualaman). Tinggal digunakan, to? Mau apa lagi? Wong izinnya juga sudah lengkap," tuturnya, Kamis (8/3/2018).
Namun, lain halnya dengan masalah lahan.
Budi memperkirakan, masih terdapat kendala menyangkut teknologi pemurnian yang dimiliki PT JMI.
Menurutnya, sampai sejauh ini, perusahaan di bidang pengolahan pasir besi itu belum mulai membangun smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir.
"Smelter belum ada proses. Sejauh ini, PT JMI hanya konsentrat. Paling tidak, harus membangun smelter. Tapi, teknologi itu (urusan) mereka, sementara kita di birokrasi, berharap bisa segera beroperasi," katanya.
Ia menuturkan, jika PT JMI menjual dalam wujud konsentrat, dapat dipastikan kandungan vanadium dan titanium di dalamnya akan ikut terjual.
Sebab, dari pemurnian konsentrat itu, bisa dihasilkan dua kandungan yang memiliki nilai ekonomis tinggi itu.
Ditambah lagi, pemerintah pun dipastikan mendapat keuntungan lebih dari proyek pengolahan dan pemurnian pasir besi, ketimbang menjual dalam bentuk konsentrat.
Terlebih, hal tersebut sudah tertuang dalam AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).
"Padahal, di AMDAL sudah jelas, bahwa mineral ikutan harus diperhitungkan, tidak seperti yang di Freeport. Kalau hanya konsentrat yang dijual, itu sama saja yang dilakukan di berbagai daerah, jadi harus ada smelter yang bisa pisahkan vanadium dan titanium," tukasnya.
"Jadi, harus membangun smelter di sana, untuk membuat konsentrat menjadi pig iron, kemudian pig iron menjadi baja. Harus dalam bentuk itu," tambah Budi.
Namun, diakuinya, kalau teknologi yang benar-benar mumpuni untuk mendukung rangkaian proses tersebut memang masih sangat jarang dijumpai, khususnya di Indonesia.
Hanya ada beberapa negara yang sudah memilikinya.
"Itu ada di New Zealand, China, kemudian Jerman. Nah, sekarang bagaimana PT JMI bekerja sama dengan mereka," terangnya.
Budi memaparkan, kesepakatan terkait tenaga kerja untuk mendukung operasional PT JMI pun tidak ada masalah.
Berdasarkan AMDAL, 55 persen pekerja harus berasal dari masyarakat lokal.
Menurutnya, bukan hal sulit untuk mempersiapkannya.
"Tenaga kerja tidak ada masalah. Seandainya PT JMI beroperasi, bisa menyerap sekitar 6.000 tenaga lokal. Untuk tenaga ahlinya, ya tergantung mereka yang punya teknologi itu," tuturnya.
"Keuntungan bagi Kulonprogo pun sangat besar. Dulu ada hitungannya, tapi saya lupa, tapi jelas itu sangat besar. Itu baru hitungan pasir besi, loh, belum kandungan vanadium dan titaniumnya. Padahal, vanadium itu 100 kalinya hasil pasir besi, gitu," ungkap Budi. (*)