Belum sepakat, Asosiasi Smelter (AP3I) minta tata niaga nikel domestik dikaji lagi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penetapan tata niaga nikel domestik tampaknya masih memantik polemik. Industri smelter yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) meminta agar pengaturan tata niaga nikel domestik diatur ulang.
Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso menyampaikan, pihaknya tidak sepakat jika harga bijih nikel yang dijual penambang ke smelter diatur oleh pemerintah dengan skema sekarang. Yakni tata cara penghitungan dengan penetapan untuk royalti dari penambang kepada pemerintah.
"Filosofinya, setelah mineral dibayar royaltinya oleh Penambang kepada Pemerintah, pada dasarnya mineral tersebut jadi komoditas bebas untuk diperdagangkan oleh Penambang ke Pengusaha Smelter secara business to business menganut azas supply-demand," ungkap Prihadi kepada Kontan.co.id, Senin (18/5).
Oleh sebab itu, AP3I mengusulkan agar skema tata niaga nikel saat ini bisa dikaji lagi. Prihadi menyebut, pihaknya mengusulkan ada diskusi lanjutan antara penambang nikel, smelter yang terintegrasi dengan tambang, dan Kementerian ESDM sebagai pembinanya, bersama dengan perusahaan smelter independen yang memiliki Izin Usaha Industri (IUI)dan Kementerian Perindustrian.
"Ini penting untuk memfasilitasi pertemuan antara penambang dan smelter, untuk merumuskan win win solution masalah harga mineral dalam negeri," sebut Prihadi.
Ia mengatakan, saat ini AP3I dan perusahaan yang tergabung di dalamnya tengah menyusun formulasi tata niaga yang akan diusulkan. "Kami sedang rapat-rapat, terutama fokus di formula yang fair bagi penambang maupun smelter," kata Prihadi.Adapun, tata niaga nikel domestik telah diatur dalam Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020. Beleid tersebut merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batubara.
Terkait dengan tata niaga nikel domestik, Permen ESDM No.11/2020 mengatur tentang penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) yang mempertimbangkan mekanisme pasar internasional, peningkatan nilai tambah dan pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik. Dengan beleid tersebut, transaksi jual-beli bijih nikel mengacu pada HPM, yang menjadi harga batas bawah.
Sekali pun transaksi di bawah HPM, maka diatur bahwa transaksi dapat dilakukan di bawah harga dengan selisih tidak lebih dari 3%. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perbedaan kutipan harga atau penalti mineral pengotor (impurnities) yang melebihi standar.
Permen ESDM No.11/2020 ini diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 13 April 2020, diundangkan pada 14 April 2020, dan mulai berlaku setelah 30 hari diundangkan. Dengan begitu, ketentuan dalam regulasi ini, termasuk mengenai tata niaga nikel domestik sudah harus diimplementasikan sejak 14 Mei 2020.
Dalam berita Kontan.co.id sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan bahwa pengaturan tata niaga tersebut tidak akan merugikan kedua belah pihak, lantaran pemerintah sudah mempertimbangkan besaran Harga Pokok Produksi (HPP) baik dari penambang maupun pemilik smelter.
Menurut Yunus, pihaknya pun sudah melakukan sosialisasi kepada stakeholders terkait, khususnya kepada penambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) maupun AP3I. "Sudah wajib sesuai Permen ESDM No. 11/2020 dan itu sudah disosialisasikan," kata Yunus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (17/5).
Meski aturan dalam Permen ESDM No. 11/2020 itu sudah harus dilaksanakan pada 14 Mei 2020 lalu, namun Prihadi mengatakan bahwa industri smelter masih sulit untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Apalagi, katanya, industri smelter saat ini juga tengah tertekan akibat dampak dari pandemi Corona (Covid-19) terhadap harga maupun pasar komoditas, serta hambatan operasional.
"Belum bisa menerima Permen tersebut. Pandemi virus corona juga menjadi tekanan besar," tandas Prihadi.
Sebelumnya, APNI berhadap supaya perusahaan smelter dalam negeri bisa mematuhi tata niaga nikel domestik sesuai dengan Permen ESDM No.11/2020 sejak 14 Mei 2020 lalu. Menurut Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey, aturan dalam beleid tersebut memberikan kepastian hukum bagi para penambang nikel.
Pasalnya, sebelum ada beleid tersebut, harga jual bijih nikel ditentukan oleh industri smelter. Meski pada praktek nya peraturan tersebut belum sepenuhnya terealisasi di lapangan, Meidy mengatakan bahwa pihaknya masih memberikan pemakluman, paling tidak hingga akhir Mei nanti.
"Setelah itu smelter sudah wajib memenuhi ketentuan (Permen No.11/2020)," tegas Meidy.