Beri Izin Ekspor, ESDM Harus Terbuka Smelter Baru yang Dibangun
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta terbuka mengungkapkan keberadaan smelter baru terkait dengan pemberian izin ekspor kepada perusahaan bauksit dan nikel yang baru-baru ini.
Keterbukaan tersebut menjadi jaminan bahwa izin ekspor yang diberikan berdasarkan pada smelter yang sudah dibangun.
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, Achmad Redi mengungkapkan, rekomendasi ekspor yang terus diterbitkan tanpa ada kejelasan pembangunan smelter tersebut bersumber dari regulasi yang tidak tegas.
Pada Permen ESDM No 6 tahun 2017, ada celah bahwa permohonan izin ekspor baru tidak mensyaratkan adanya progres pembangunan smelter yakni syaratnya, cukup ada rencana pembangunan smelter.
Celah regulasi inilah yang dimanfaatkan perusahaan dan Pemerintah dalam hal ini Ditjen Minerba untuk memberikan izin ekspor selama enam bulan kepada perusahaan.
Dampaknya perusahaan yang nakal dapat menjadikan izin enam bulan pertama ini sebagai langkah mendapatkan manfaat walau tanpa membangun smelter.
"Untuk tahap perpanjangan selanjutnya mereka tidak memikirkannya. Yang penting dapat izin ekspor dulu selama enam bulan, untuk selanjutnya lihat nanti," katanya beberapa waktu lalu.
Redi menambahkan, agar target pemerintah terkait smelter benar-benar berjalan, maka rekomendasi ekspor diberikan apabila pembangunan smelter telah dimulai secara bertahap, minimal sudah ada studi kelayakan untuk enam bulan pertama.
Untuk perpanjangan rekomendasi selanjutnya diberikan setelah ada tahap konstruksi. Jadi pendekatan pemberian rekomendasi ekspor dilakukan dengan bukti pembangunan fisik dari perusahaan.
"Kalau praktiknya asal memberikan rekomendasi saja tanpa ada progress, ada potensi merugikan keuangan negara. KPK bisa masuk di ranah ini," kata dia.
Sebelumnya Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Susigit mengatakan, pemerintah telah memberikan rekomendasi ekspor kepada dua perusahaan, antara lain PT Laman Mining, di Ketapang Kalimantan Barat untuk komoditas bauksit sebesar 2,85 juta ton per tahun dan PT Itamarta Nusantara di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, anak usaha dari PT Central Omega Resources Tbk sebanyak 118.827,2 ton.
Rekomendasi ekspor diberikan karena kedua perusahaan tersebut sudah melaksanakan pembangunan smelter sehingga rekomendasi ekspor diberikan sesuai dengan kapasitas smelter.
Namun sayangnya, detail lokasi dan kapasitas smelter kedua perusahaan itu tidak dirinci.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai, sampai sekarang pemerintah tidak punya perangkat yang jelas dalam menentukan perusahaan layak mendapat rekomendasi ekspor.
Karena tujuannya adalah membangun smelter, seharusnya pemerintah sudah punya perangkat yang menjadi ukuran dalam memberikan rekomendasi.
"Seperti jika kita hendak menugaskan salah satu kontraktor untuk mengerjakan sesuatu maka kita sudah harus menyiapkan perangkat untuk mengukur kinerjanya. Itu yang selama ini tidak punya," kata Marwan.
Tidak hanya itu, lanjut Marwan, perusahaan yang mendapat rekomendasi seharunya perusahan yang sudah menunjukkan komitmen membangun smelter tidak hanya di atas kertas tetapi benar-benar ada bukti fisiknya.
"Jangan malah terkesan menutup-nutupi, karena jika itu sudah dibuka ke publik maka publik bisa memantau perkembangan pembangunan smelter. Ini juga akan membuat perusahaan merasa bertanggungjawab dalam mewujudkan pembangunan smelter tersebut," katanya.