Bermula dari Taruhan, Ini Cerita Soal Smelter Nikel Morowali
Jakarta, CNBC Indonesia - Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia memang diawali dari adanya paksaan melakukan peningkatan nilai tambah mineral hingga larangan ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel, pada Januari 2014 silam.
Kebijakan ini pula lah yang akhirnya membuat investor China yakin untuk berinvestasi membangun smelter nikel di Indonesia. Salah satu kawasan smelter nikel yang telah maju saat ini dengan investor asal China tersebut yaitu kawasan industri Morowali di Sulawesi Tengah yang dioperasikan PT Indonesia Morowali Industrial Park.
Bos Smelter Morowali pun tak segan menuturkan kisah awal terbangunnya kawasan industri smelter ini. Dalam sebuah diskusi tentang nikel secara virtual hari ini, Selasa (13/10/2020), CEO PT PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus menceritakan awal mula dibangunnya proyek smelter ini.
Bermula dari adanya taruhan antara dirinya dan salah satu investor China di sebuah acara makan malam di Shanghai, China, pada September 2013 terkait apakah pemerintah Indonesia tetap akan melarang ekspor bijih nikel mulai Januari 2014 atau tidak. Larangan ekspor bijih nikel pada saat itu memang menjadi perbincangan hangat karena berdasarkan Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, perusahaan mineral harus melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu sebelum mengekspor bahan baku mineral.
Dia mengatakan, calon investor asal China tersebut tidak yakin bahwa Indonesia konsisten dengan peraturannya sendiri dan akan melarang ekspor bijih nikel pada 2014.
"Ada pembicaraan bahwa mereka menyampaikan ke saya bahwa 'eh Mr. Barus, saya yakin bahwa 2014 masih bisa ekspor nickel ore dari Indonesia.' Saya bisa baca pemikirannya bahwa Indonesia itu tidak konsisten dalam menjalankan aturannya. Saya bilang 'Saya yakin 2014 Januari ekspor nickel ore stop. Mari kita taruhan," tuturnya dalam diskusi hilirisasi nikel secara virtual pada Selasa (13/10/2020).
Lalu, dia pun bertaruh untuk meminum 20 sloki minuman beralkohol tinggi dengan investor China tersebut. Bila pemerintah membuka keran ekspor bijih nikel pada 2014, maka dia harus meminum 20 sloki minuman beralkohol tersebut. Dan ternyata, pemerintah pada saat itu konsisten dengan menutup keran ekspor bijih nikel, meski kebijakan ini berubah pada 2017 yang akhirnya dibuka kembali dengan pengaturan kuota ekspor.
Lalu, pada Oktober 2014 ada nota kesepahaman antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Xi Jin Ping untuk membangun smelter bernama PT Sulawesi Mining Investment dan PT Indonesia Morowali Industrial Park.
"Pada waktu itu memang disampaikan Pak Presiden bahwa investor akan dibantu dari tax holiday," ujarnya.
Kendati demikian, itu saja belum cukup meyakinkan calon investor China tersebut. Karena Morowali dekat dengan area rawan konflik di Poso, mereka pun khawatir dengan faktor keamanan. Lalu, guna meyakinkan investor tersebut, mereka pun diajak bertemu dengan Kepala Pusat Penerangan TNI. Kapuspen TNI pun menurutnya memberikan komitmen bahwa daerah tersebut aman dan menjadi area terakhir yang akan disentuh bila terjadi konflik.
"Beliau (kapuspen TNI) meyakinkan 'nanti terakhir yang disentuh kalau ada apa-apa itu Morowali'. 'Invest saja, keamanan akan kami jamin' kira2 begitu lah," tuturnya.
Setelah itu, akhirnya smelter pun mulai dibangun pada awal 2014. Adapun smelter nikel pertama yang dibangun yaitu smelter Nickel Pig Iron (NPI) berkapasitas 300.000 ton per tahun.
Proses Pembangunan Tak Selamanya Mulus
Saat smelter ini dibangun pun bukan berarti berjalan tanpa kendala. Menurutnya, pembangunan smelter di Morowali tidak berjalan mulus-mulus saja. Ada beberapa masalah yang dihadapi saat awal pembangunan smelter ini, seperti sulitnya akses lokasi dan belum adanya pasokan listrik.
"Morowali adalah dunia yang tidak diketahui orang. Di sana tidak ada signal, pakai HP satelit, jalan ke sana 12-13 jam darat," paparnya.
Dia menambahkan, "Morowali masih hutan, listrik masih pakai genset, kami ditugaskan mengelola kawasan industri ini."
Hal pertama yang dilakukan adalah mengirim orang ke China untuk belajar mengolah dan mengoperasikan smelter nikel. Kala itu dikirimkan sebanyak 80 orang untuk training di China.
"Pembangunan dilakukan pada awal 2014 dengan kapasitas 300 ribu NPI. Kami pun mencari sumber pasokan listrik, kami datang ke Poso 3, tapi ternyata sudah untuk Antam, sehingga kami harus bangun power plant sendiri untuk supply listrik ke smelter pertama," paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan kendala lain dari kawasan industri adalah mengenai luas wilayah yang hanya diizinkan 400 hektar. Luas tersebut menurutnya hanya cukup untuk membangun dua pabrik saja. Setelah dilakukan lobi dengan Menteri Sofyan Djalil kala itu akhirnya diberikan izin luas lahan 1.200 hektar.
Dikutip dari situs IMIP, di kawasan industri Morowali ini terdapat beberapa fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel hingga menjadi stainlees steel maupun carbon steel. Beberapa perusahaan yang membangun smelter di lokasi ini antara lain PT Sulawesi Mining Investment yang memproduksi 1 juta ton stainless steel slab per tahun dan memiliki kapasitas smelter Nickel Pig Iron (NPI) 300 ribu ton per tahun.
Lalu, ada PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry yang memiliki kapasitas smelter NPI 600 ribu ton per tahun dan memproduksi stainless steel slab 1 juta ton per tahun.
PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel juga mengoperasikan smelter NPI 600 ribu ton per tahun dan stainless steel slab 1 juta ton per tahun. Selain itu, PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy juga memproduksi 700 ribu ton per tahun stainless steel coil. Kemudian, PT Tsingshan Steel Indonesia memproduksi carbon steel 1 juta ton per tahun dan smelter NPI 500 ribu ton per tahun.