Bidik Investasi, Kemenperin Terbitkan Regulasi Kawasan Peruntukan Industri
JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerbitkan regulasi yang dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan penetapan sebuah kawasan peruntukan industri (KPI) di dalam wilayahnya.
Hal ini tertuang pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 30 Tahun 2020 tentang Kriteria Teknis KPI.
“Sebagai salah satu instrumen untuk memacu investasi, penetapan KPI perlu dilakukan sesuai dengan kriteria, sehingga diharapkan menarik bagi investor masuk, kemudian mendorong pengembangan wilayah serta memicu pertumbuhan ekonomi di daerah,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Dody Widodo di Jakarta, Jumat (27/11).
Hingga saat ini, total luas KPI di Indonesia lebih dari 611 ribu hektare dengan persentase terbanyak (sekitar 50%) ada di pulau Jawa-Bali.
Dari total luas KPI tersebut, dibangun sebanyak 121 kawasan industri (KI) dengan total luas mencapai 53 ribu ha.
“Kami mencatat, dalam periode lima tahun, muncul 41 KI baru, sehingga totalnya mencapai 121 KI. Jadi, 121 KI ini siap untuk menampung para investor, baik itu dari asing maupun dalam negeri,” ungkap Dirjen KPAII.
Sementara itu, luas lahan KI naik 47% menjadi 53.340 ha dalam lima tahun terakhir.
“Sebanyak 38 KI seluas 14.749 ha akan dibangun dengan status lahan clean and clear,” imbuhnya.
Dody juga mengungkapkan, investasi terus mengalir deras ke sektor manufaktur, meskipun di tengah imbas pandemi Covid-19.
Per September 2020, nilainya mencapai Rp210,9 triliun atau naik 37% dari periode yang sama tahun lalu.
“Aktivitas sektor manufaktur yang berada di dalam Kl ini diyakini akan mendorong upaya pemulihan ekonomi nasional,” tuturnya.
Lebih lanjut, langkah akselerasi pembangunan kawasan industri, sentra Industri Kecil Menengah (IKM) maupun industri secara individu di dalam KPI dinilai dapat meningkatkan daya saing industri nasional, serta mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan industri.
“Penetapan KPI seyogyanya ditindaklanjuti dengan upaya percepatan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan infrastruktur industri maupun infrastruktur penunjang dalam KPI,” tegas Dody.
Bahkan, adanya Undang-Undang Cipta Kerja juga diyakini dapat mendorong ekspansi perusahaan ke Kl. Sebab, omnibus law dapat mengatasi sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan Kl baru.
“Ada lima tantangan yang dihadapi dalam membangun Kl, yakni penyiapan dokumen, lahan dan tata ruang, perizinan, infrastruktur, serta pengelola dan tenant,” sebutnya.
Oleh karena itu, dalam rangka percepatan program pengembangan KPI, diperlukan koordinasi dan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dengan daerah, terutama dalam hal pembagian peran dan wewenang mengenai penetapan dan pengembangan KPI.
“Sehingga tujuan pengembangan KPI sebagai rumah bagi kawasan industri dan industri bisa menarik investasi untuk masuk ke daerah,” tandasnya.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar mengatakan, pemerintah daerah perlu fokus pada optimalisasi potensi wilayahnya ketika menginisiasi pembangunan KI baru.
Selain itu, perlu dipikirkan mengenai interkoneksi antara akses dan aset infrastruktur, seperti pelabuhan dan bandara.
“Interkoneksi berfungsi menyambungkan aset dan akses menuju Kl,” ujarnya.
Sebagai contoh, pengembangan KI Morowali bisa sukses karena sesuai dengan potensi sumber daya alam di daerah tersebut, yakni nikel.
Hal ini berhasil mendorong tumbuhnya industri smelter nikel.
Sedangkan KI di Dumai difokuskan pada pengolahan kelapa sawit dan produk turunannya.
“Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam pengembangan KI. Misalnya, terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW). Hal ini menyangkut perizinan lokasi, lahan, dan sertifikat lahan. Selanjutnya, pengembang dan pengelola kawasan harus membentuk entitas agar KI bisa memberikan layanan terbaik di kawasan tersebut,” paparnya.