a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Bisnis Smelter Bikin Setoran Freeport ke Kas Negara Tergerus Rp 227 T

PT Freeport Indonesia sedang membangun smelter di Kecamatan Manyar, Kabupatan Gresik, Jawa Timur. Pembangunan fasilitas pengolahan konsentrat itu, merupakan mandat dari Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diterima Freeport dan amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).


Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas menyatakan, pembangunan smelter itu tak perlu lagi diperdebatkan karena merupakan aturan yang harus dipenuhi perusahaan. Walaupun menurutnya, impact dari keberadaan smelter akan membuat penerimaan negara dari Freeport, bakal turun.
“Ini kalau harga copper (Tembaga) rata-rata USD 3 per pon dan harga emas USD 1.200 per troy ounce.


Tanpa smelter pemerintah bisa USD 50 miliar total sampai 2041. Sementara dengan ada smelter pemerintah hanya dapat USD 38 miliar. Jadi ada penurunan USD 12 miliar,” katanya di hadapan pemimpin redaksi sejumlah media, saat mengunjungi PT Smelting Indonesia di Gresik, Jawa Timur, Sabtu (24/8).



“Kalau asumsi harga tembaga dan emasnya naik, (masing-masing) jadi USD 3 per pound dan USD 1.600 per troy ounce, kehilangan potensi penerimaannya malah makin besar. Kalau tanpa smelter, negara akan dapat USD 56 miliar. Sedangkan dengan smelter, turun USD 16 miliar (Rp 227,9 triliun) jadi hanya USD 40 miliar,” lanjut Tony.



Pendapatan dari pengolahan konsentrat di smelter, diatur berdasarkan technical charge/refinery charge (TC/ RC). Yakni semacam fee, yang ditentukan berdasarkan persentase dari harga logam murni di pasar dunia.

Presdir PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, meninjau lokasi di Gresik tempat pembangunan proyek smelter milik PTFI.

Untuk tembaga, mengacu ke harga di London Metal Exchange (LME). Sedangkan emas dan perak mengacu ke London Bullion Market (LBM).

Dari pengolahan yang sudah berjalan di PT Smelting Indonesia, TC/RC untuk tembaga pada 2018 lalu hanya 8 persen dari harga rata-rata tembaga. Turun drastis dari 20 tahun lalu, yang masih sebesar 24 persen.

Sedangkan TC/RC emas dan perak masing-masing sebesar 0,4 persen dan 2,9 persen dari harga logam murninya di pasar global.
“Jadi kalau ditanya, ‘Kenapa kok malah turun (penerimaan negaranya)?’ Ya karena TC/RC itu,” ujar Tony.

Dia menjelaskan, keberadaan smelter yang nanti dimiliki Freeport hanya memberi sedikit nilai tambah ke produk tembaga. Dari kegiatan penambangan sampai konsentrat, nilai tambahnya sudah mencapai 95 persen. Keberadaan smelter cuma menambah 5 persen, hingga jadi tembaga.

Smelter tembaga ini, menurutnya, berbeda dengan smelter aluminium dan nikel. Smelter aluminium memberi nilai tambah 60 persen, dari alumina hingga menjadi aluminium. Sedangkan smelter nikel memberi nilai tambah 20 persen, dari nikel matte menjadi nikel.

“Ini bukan akal-akalannya Freeport ya. Ini hasil Focused Group Discussion, dari FGD yang melibatkan ahli. Ada dari ITB (Institut Teknologi Bandung), ada juga dari Kementerian ESDM dan independent international consultant as well,” tandasnya.
Selain itu, Tony memaparkan, biaya investasinya cukup mahal. Yakni mencapai USD 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Smelter merupakan proyek padat modal, sementara penyerapan tenaga kerjanya saat operasional nanti, hanya sekitar 500 orang.

Itulah mengapa kata Tony, sangat jarang yang mau berinvestasi membangun smelter tembaga.
"Dalam 20 tahun terakhir hanya ada dua smelter tembaga baru di China. Mereka bikin karena pendanaannya didukung negara, ekspor produknya bebas pajak, harga energi di China juga murah," katanya.

Mesin cetak tembaga di PT Smelting Indonesia. Foto: Dok. PT Smelting Indonesia
Dia menambahkan, smelter yang akan dibangun Freeport merupakan yang terbesar di dunia dengan kapasitas 2 juta konsentrat per tahun, terdiri dari dua sistem masing-masing sebesar 1 juta ton konsentrat.

Selain smelter tembaga, di lokasi yang sama di kawasan industri JIIPE, juga akan dibangun fasilitas pengolahan logam mulia atau Precious Metal Refinery (PMR). Di fasilitas ini akan diolah lumpur anoda (Anode Slime), yang merupakan hasil samping dari smelter tembaga.

Lempeng anoda tembaga produksi PT Smelting Indonesia yang bahan bakunya berasal dari konsentrat hasil tambang PT FReeport Indonesia. Foto: Dok. PT Smelting Indonesia

Dalam lumpur anoda inilah terdapat kandungan emas dan perak. Selama ini lumpur anoda dari PT Smelting Indonesia diekspor ke Jepang dan Korea Selatan, karena belum ada fasilitas pengolahannya di Indonesia.

Dari smelter yang diproyeksikan mulai beroperasi komersial pada 2024, juga akan dihasilkan asam sulfat (H2SO4) yang merupakan bahan baku industri pupuk, serta kerak besi atau slack yang dapat dijual oleh Freeport sebagai bahan baku industri semen.