CERI Minta Tidak Euforia Berlebihan atas Divestasi Saham Freeport
JAKARTA - Head of Agreement (HoA) atau kesepakatan pokok yang ditandatangani Pemerintah dengan Freeport McMoran perlu disambut dengan baik namun tidak perlu dianggap suatu kemenangan bagi Indonesia, terlebih lagi untuk memunculkan euforia di masyarakat.
“Kemarin itu hanya teken HoA yang tidak mengikat antara PT Inalum Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (FI) , dan biasanya PT FI baru mau serius membahas soal izin kalau IUPK atau rekomendasi ekspor konsentratnya akan berakhir untuk mohon perpanjangan , kalau tidak karena itu biasanya mereka cuek saja. Jadi sudah benar seperti yang diingatkan oleh guru besar hukum dari UI Prof Hikmahanto Djuwana jangan eforia " dan biasanya tim hukum kita dipasal pasal detailnya sering kalah , karena ada adagium the devil is on the detail itu fakta dan akibatnya kita rasakan bersama,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (15/7).
Yusri menegaskan, dirinya bersama Dr Ahmad Redi , Marwan Batubara dkk dari koalisi penyelamat pengelolaan SDA sesuai konstitusi telah menggugat Permen ESDM Nomor 5 dan 6 turunan PP Nomor 1 Tahun 2017 ke Makamah Agung (MA).
“Memang kami lemah dan kalah , tetapi biarlah anak cucu kami mencatat bahwa kami telah berjuang menyelamatkan kekayaan alam kita untuk kegenerasi penerus , itulah yang hanya kami bisa sumbang untuk negeri in,” katanya.
Menurut dia, wajar pertanyaan banyak pihak kenapa PT FI yang sudah menguras harta kekayaan bangsa ini selama hampir 50 tahun namun sulit bagi pemerintah mengusainya hanya 51 % saja.
“Itupun katanya kalau PT Inalum berhasil menguasai 51 % dari hasil beli PI Rio Tinto, nulai itu akan dikonversi menjadi saham terhitung awal tahun 2022 oleh PT FI, lebih mirisnya lagi adalah hak kontrol kelola 100% sepenuhnya tetap oleh PT FI ,” tambahnya.
Pentingnya Smelter
Menurut dia, hal lain yang perlu diperhatikan adalah perkembangan soal pembangunan smelter. Menurut ketentuan UU Minerba Nomor 4 Tahun 009 seharusnya menurut pasal 102 , 103 , 169 dan 170 pada tahun 2014 sudah harus semuanya dimurnikan di smelter Indonesia.
“Kita tidak tegas terhadap aturan perundang undangan yang sudah kita sepakati , sehingga tak salah PT FI meremehkan kita dan tidak takut melanggarnya,” ujarnya.
Terkait pembangunan smelter yang seharusnya jadi prioritas utama, lanjut dia, sepertinya terabaikan. Hal ini sangat merugikan kepentingan nasional karena nilai tambah ekonomi dan sebagai kontrol dari setiap ton konsentrat itu telah menghasilkan berapa banyak emas , tembaga dan perak.
Pembangunan smelter semakin jauh dari harapan ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan Peraturan Menteri KeuanganNomor 13 Tanggal 9 Feb 2017 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenai Bea Keluar & Tarif Bea Keluar telah memasang tarif bea 5 sampai dengan 7, 5 % untuk konsentrat dan mineral mentah , sementara untuk kulit sapi dan kerbau dikenakan 25 %
Padahal kalau mengacu pada PMK Nomor 153 /PMK .011/2014 yang merupakan perubahan ketiga dari PMK 75/PMK.011/2012 seharusnya kepada ekspor konsentrat dan mineral mentah saat ini sudah dikenai bea 60%.
“Terakhir yang lebih parah dan mengancam hilirisasi mineral logam berharga, diperoleh bocoran bahwa didalam draf revisi UU Minerba, ternyata pasal 102 dan 103 dari UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 telah dihapus , pasal tersebut yang mewajibkan semua mineral diolah di smelter dalam negeri akan diatur sendiri dalam Peraturan Pemerintah sesuai pasal 181 ayat B,” katanya.
Dia mengatakan, ada pihak yang berpendapat akuisisi PI Rio Tinto dan Indocooper Investama sebesar US$ 3.8 miliar adalah langkah cerdas dan itu sebuah prestasi besar Jokowi.
Namun, Yusri punya pendapat berbeda. Menurut dia yang harus didesak oleh pemerintah dan penegak hukum seharusnya adalah kewajiban PT FI kepada negara untuk membayar biaya kerusakan lingkungan hasil temuan dan perhitungan BPK pada tahun 2016 sebesar Rp 185 triliun.
“Sungguh prihatin, kita harus keluar uang untuk menguasai saham PT Freeport Indonesia mencapai Rp 55 triliun oleh PT Inalum harus berutang pada 4 lembaga keuangan mencapai Rp 77 triliun, karena uang Rp 55 triliun hanya sebatas membeli PI dan saham saja, belum lagi harus siap modal investasinya 51% dari US$ 6 miliar, seharusnya kita yang mendapat bayaran dari PT FI kepada kita Rp 130 triliun dan sekaligus juga sudah dapat saham 51%,” tambahnya. (is)