a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Catatan Ringan: Hilirisasi Batubara dan Nikel Sudah, Kapan Tembaga dan Emas?

VIVA - Di saat pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, sebuah kesepakatan bisnis raksasa senilai 2,8 miliar AS atau setara Rp41,7 triliun untuk membangun industri gasitifikasi batubara menjadi methanol ditandatangi dari tempat terpisah, New York dan Jakarta.

Bakrie Capital Indonesia, Ithaca Resources, dan Air Products dari Amerika Serikat, sepakat untuk melakukan proses pengolahan batubara menjadi methanol (coal to methanol). Ini menjadi hilirasi batubara pertama di Indonesia yang dilakukan oleh investor lokal beraliansi strategis dengan pemain kelas dunia dibidang gasitifikasi batubara.

Nantinya gasitifikasi batubara itu akan menghasilkan 2 juta ton methanol per tahun. Jumlah produksi methanol sebesar itu memang belum signifikan untuk mensubsitusi kebutuhan BBM nasional yang besarannya lebih besar dari yang dihasilkan perusahan tersebut. Miinimal langkah itu sebagai tanda dimulainya hilirasi batubara.

Proyek gasitifasi batubara ke methanol yang dilakukan Bakrie, Ithaca dan Air Product merupakan implementasi dari keinginan dan harapan Presiden Jokowi untuk meningkatkan nilai tambah tambang melalui program hilirisasi. Bukan saja meningkatkan nilai tambah, tapi juga membantu pemerintah mengurangi defisit neraca transaksi berjalan akibat tingginya impor dan kebutuhan mata uang dollar AS.

Hilirasi mineral merupakan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. UU tersebut sudah mengatur larangan ekspor mineral mentah termasuk nikel.

Dalam Pasal 103 diatur bahwa para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi memang wajib mengolah dan memurnikan hasil tambang mereka di dalam negeri.

Nikel
Sementara untuk bahan tambang lainnya, seperti nikel, program hilirisasi sudah berjalan terlebih dahulu. Selain amanat UU nomor 4 tahun 2009, Pemerintah juga menerbitkan pelarangan ekspor nikel melalui Peraturan Menteri ESDM dan mulai berlaku per 1 Januari 2020.

Jauh sebelum terbitnya Permen ESDM tersebut, pemerintah Indonesia sudah mensosialisasikan rencana pelarangan tersebut dan mengundang investor dari berbagai negara untuk berinvestasi di sektor hilir nikel, baja nirkarat (stainless steel) dan baterai.

Undangan pemerintah Indonesia, disambut baik oleh investor asing. Saat ini, 11 smelter sudah terbangun dan 25 smelter lainnya dalam proses pembangunan.

Untuk hilirasi nikel dimulai pada akhir tahun 2015. Di Kawasan Industri Morowali, investor kelas dunia China Tsingshan Group, pioner dalam indutri baja nirkarat (stainless steel) dan menduduki ranking 361 pada Fortune Global 500 membangun berbagai industri pengolahan nikel untuk dijadikan stainless steel, carbon steel yang nantinya berakhir (hilirnya) pada industri energi terbarukan; baterai Lithium. Semuanya menggunakan teknologi terbaru dan modern. Total investasi ditargetkan 8-9 miliar dollar AS. Dan hingga saat ini sudah terealisasi 6,1 miliar dollar AS atau setara Rp. 91 triliun!

Demikian pula di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tak jauh beda dengan Morowali, investor China melalui PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) membangun smelter di atas lahan 500 hektar dengan nilai investasi mencapai 860 juta dollar AS atau sekitari Rp. 12,8 triliun. Sementara PT Obsidian Stainless Steel (OSS) membangun industri stainless steel dengan total investasi 2 miliar dollar AS atau Rp. 29,8 triliun. Total investasi di Konawe sebesar 2,86 miliar dollar AS atau sekitar Rp. 42,6 triliun. Yang dibangun juga sama hilirisasi nikel yang berujung pada energi terbarukan; baterai Lithium.

Hilirisasi mineral mutlak dijalankan bukan saja amanat UU tapi juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk bahan tambang mineral dalam negeri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Program hilirisasi itu harus dipaksakan pemerintah kepada seluruh industri pertambangan agar mampu meningkatkan nilai tambah produk. Karena, program tersebut diyakini akan memacu aliran investasi dalam jumlah besar pada industri hilir mineral di Indonesia. Hal itu sudah dibuktikan masuknya investor untuk mengolah batubara menjadi methanol, dan nikel menjadi stainless steel dan carbon steel.

Pengembangan industri berbasis mineral logam, yang terdiri dari industri besi baja (stainless steel), aluminium, nikel, dan tembaga memiliki prospek yang baik dalam jangka panjang. Penggunaan komoditas tersebut sangat luas, antara lain untuk kebutuhan di dermaga, kapal laut, landasan airport, jembatan antar pulau, rel kereta api, pipa bawah laut, jalan tol, jaringan listrik, dan telekomunikasi, hingga industri untuk keperluan rumah tangga dan energi terbarukan.

Indonesia salah satu negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dengan total cadangan nikel sebanyak 21 miliar ton, sudah sewajarnya memiliki smelter. Demikian juga dengan cadangan batubara Indonesia yang besarnya 147 miliar ton, sudah sepantas diolah untuk memperol nilai tambah. Bukan hanya menggali/mengeduk, lantas menjual.

Tembaga dan Emas
Demikian halnya dengan tambang lain, seperti emas dan tembaga. Hingga saat ini, Feeport yang sudah 55 tahun beroperasi di Timikia-Papua masih menggali dan memproses tumpukan tanah maupun pasir yang mengandung mineral pada smelter luar negeri. Bisa di Australia, bisa juga di Eropa.

Hingga saat ini tak satu pun smelter yang dibangun oleh kedua investor asal Amerika Serikat tersebut. Indonesia tak memperoleh nilai tambah dari kegiatan kedua investor tambang tersebut.

Untuk itu, sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah untuk mengolah hasil tambang untuk memperoleh nilai tambah, kedua perusahaan tersebut sebaiknya “dipaksa” untuk membangun smelter, baik di Papua maupun di Sumbawa. Wajar bila kita bertanya, kapan hilirisasi tembaga dan emas? (Penulis: Lalu Mara Satriawangsa)