a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

China Beralih Jadi Importir, Harga Batu Bara Meroket

China Beralih Jadi Importir, Harga Batu Bara Meroket
Bisnis.com, JAKARTA - Harga batu bara meroket ke level tertinggi dalam 17 bulan terakhir seiring dengan langkah China sebagai produsen terbesar di dunia mengubah strategi menjadi importir.

Meskipun demikian, harga masih rentan koreksi akibat proyeksi kenaikan suku bunga Federal Reserve pada kuartal IV/2016.

Pada penutupan perdagangan Jumat (29/7) harga batu bara kontrak September 2016 di bursa Rotterdam naik 0,25 poin atau 0,4% menuju US$62,65 per ton. Angka tersebut merupakan level tertinggi sejak Maret 2015 dan membuat kenaikan harga sepanjang tahun berjalan mencapai 45,02%.

Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka, menuturkan kenaikan pesat batu bara dimulai pada pertengahan Juli 2016 setelah pemerintah China memangkas 800.000 pekerja di sektor batu bara dan baja. Reformasi produsen terbesar di dunia ini memberikan pengaruh kuat terhadap harga.

Data Administrasi Umum di Beijing melaporkan, Negeri Panda meningkatkan impor Juni sebesar 21,75 juta ton atau level tertinggi sejak Desember 2014. Angka tersebut membuat pengiriman ke dalam negeri di semester I/2016 menjadi 108 juta ton atau bertumbuh 8,2% (yoy), dibandingkan semester I/2015 yang terkoreksi 38%.

"Harga batu bara yang rendah membuat China mengubah strategi dari produsen menjadi importir. Alasannya, biaya eksplorasi masih terlalu tinggi dibandingkan harga jual," ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Senin (1/8/2016).

Menurutnya, membaiknya faktor fundamental berhasil membuat harga batu bara keluar dari bayang-bayang sentimen minyak mentah yang kini mengalami bearish akibat suplai berlebih.

Pada perdagangan Senin (1/8) pukul 13:18 WIB, harga minyak WTI kontrak September 2016 naik 0,21 poin atau 0,5% menuju US$41,78 per barel. Padahal pada awal Juli harga bertengger di posisi US$49,65 per barel.

Selain China, negara produsen seperti Australia, Indonesia, dan Kolombia juga mengurangi produksi. Berdasarkan data Bank Dunia, ketiga negara pada 2015 masing-masing menempati posisi IV, V, dan VIII dalam daftar pemasok batu hitam terbesar di dunia.

Di Tanah Air, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memberlakukan moratorium izin penambangan baru industri batu bara. Menurut Ibrahim, langkah ini merupakan hal yang wajar karena harga komoditas itu masih terlampau murah.

Dalam pembangunan smelter, pihak swasta pun masih sangat berhati-hati. Meskipun harga sedang mengalami kenaikan, trennya terbilang bakal terbatas.
Di sisi lain, pemerintah fokus dalam pembangunan PLTU di setiap provinsi untuk mengejar target kapasitas listrik 35.000 MW. Alhasil, walaupun ekspor berkurang, tetapi penyerapan di dalam negeri meningkat.

Dalam waktu dekat, harga batu bara diprediksi menurun ke level US$61 per ton. Sentimen negatif berasal dari rilis indeks PMI Manufaktur China pada Juli merosot ke level 49,9, jatuh di bawah ekspektasi 50,1.

Berkebalikan dengan data dari pemerintah setempat, Indeks PMI Manufaktur Caixin pada Juli meningkat ke 50,6 dari Juni sebesar 48,6. Pencapaian ini juga melebihi konsensus senilai 48,7.

Dalam jangka panjang, sambung Ibrahim, harga batu bara berpeluang ke level US$70 per ton akibat naiknya permintaan China, India, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa. Meskipun demikian, reli terhenti seiring dengan langkah Federal Reserve menaikkan suku bunga pada kuartal IV/2016.

Sumber : www.bisnis.com