Dampak Pembatasan Ekspor Nikel, CAD Bisa Tereduksi
Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu melakukan antisipasi atas rencana pelarangan ekspor nikel akan memberi banyak dampak pada perbaikan transaksi berjalan.
Menurut ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melarang ekspor bahan baku nikel akan dimulai lebih awal menjadi 31 Desember 2019 dari aturan sebelumnya pada 11 Januari 2022 seperti yang tertuang dalam Peraturan ESDM Nomor 11/2019.
Enrico menilai, meskipun pelarangan ekspor ini bertujuan untuk mengoptimalisasi fungsi nikel sebagai bahan baku manufaktur dalam negeri seperti baterai dan kendaran listrik, maka aka nada kemungkinan penurunan volume ekspor.
Dia memerinci tren ekspor sejak 2018, sehingga dia memprakirakan ekspor nikel akan mengalami penurunan dari nilai US$65 juta setiap bulan. Namun penurunan tersebut sebenarnya tidak memberi dampak besar pada neraca perdagangan jika berkaca dari defisit transaksi berjalan saat ini.
“Berdasarkan pengembangan terakhir, penggunaan komponen nikel dalam baterai sudah berlaku saat ini dan sampai beberapa waktu yang akan datang, termasuk untuk kendaran elektrik,” ujar Enrico kepada Bisnis.com, Selasa (22/10/2019).
Dia menyatakan, apabila pelarangan ekspor nikel ini didukung dengan kepastian hukum dan kebijakan yang tepat, maka akan memberikan memberikan dampak jangka panjang yang baik. Terutama dalam upaya menurunkan defisit transaksi berjalan. Meski demikian, untuk jangka dekat Enrico memprakirakan belum banyak dampak positif yang dirasakan, utamanya terkait dampak pemberian nilai tambah produk buatan Indonesia.
“Hal itu juga akan mendorong rupiah lebih stabil, dan ada ruang lagi bagi pemangku kebijakan moneter kembali memangkas suku bunga,” pungkas Enrico.
Bisnis.com mencatat, ada beberapa alasan pelarangan ekspor nikel diberlakukan pemerintah lebih cepat. Pertama, untuk mempercepat pemberian nilai tambah pada produk manufaktur dalam negeri. Caranya, dengan mengandalkan bahan baku dalam negeri.
Kedua, agar pemerintah ke depan bisa mempercepat langkah mewujudkan Indonesia sebagai produsen baterai dan kendaraan listrik.
Ketiga, pelarangan ini secara otomatis akan mendorong industri dalam negeri lebih menggeliat, dan menjadikan Indonesia produsen utama barang jadi berbahan baku nikel.