a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Dampak Relaksasi Ekspor, 11 Smelter 'Gulung Tikar'

Dampak Relaksasi Ekspor, 11 Smelter
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebanyak 12 perusahaan smelter nikel dalam negeri 'megap-megap' usai implementasi relaksasi ekspor setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Bahkan, 11 smelter nikel lainnya telah gulung tikar. Itu artinya, secara keseluruhan, 23 smelter nikel terkena imbas aturan main baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau sebanyak 92 persen dari total smelter sebanyak 25 perusahaan. Artinya, cuma dua smelter saja yang masih beroperasi baik hingga saat ini.

"Dari yang tutup, kebanyakan enggan diekspos, karena mereka gengsi kalau mau tutup. Sebagian masih ada urusan dengan perbankan, sebagian lainnya tak mau diumumkan, karena takut ada gejolak dengan karyawan," tutur Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo, Kamis (20/7).

Ia melanjutkan, rontoknya industri smelter dikarenakan harga nikel terperosok cukup dalam setelah pemerintah mengumumkan pelonggaran ekspor. Alhasil, biaya produksi nikel olahan lebih tinggi ketimbang harga jualnya.

Saat ini, Harga Pokok Produksi (HPP) nikel yang telah dimurnikan tercatat sebesar US$9.600 per ton untuk smelter yang dimurnikan dengan teknologi blast furnace. Selain itu, HPP untuk nikel yang dimurnikan dengan smelter listrik senilai US$9.900 per ton.

Ironisnya, harga nikel di pasaran sempat dilego di level US$8.600 per ton. Yang artinya, pelaku usaha, mau tidak mau, terpaksa menelan kerugian.

"Sekarang juga sudah menyentuh US$9.700 per ton, tapi tetap saja di bawah HPP. Ini baru bahan baku dan pendukung saja, belum dimasukkan ongkos lain, seperti bunga bank, depresiasi. Padahal, sebelum relaksasi diumumkan harga nikel masih berada di kisaran US$12 ribu per ton," ungkap Jonatan.

Fakta banyaknya smelter yang sekarat ini menciutkan nyali investor untuk melanjutkan investasinya. Tengok saja, hanya ada lima smelter yang berhasil terealisasi dari 12 smelter bauksit dan nikel yang direncanakan sejak 2015 lalu. Selain itu, dari empat smelter yang direncanakan di tahun lalu, cuma dua di antaranya yang terealisasi.

Investor smelter tersebut menyetop investasinya di Indonesia, mereka yang kebanyakan berasal dari China ini lalu mengaktifkan kembali smelter di negara asalnya. Kondisi ini dibuktikan dengan dikirimkannya ore nikel sebanyak enam kapal pada Mei 2017.

"Smelter di sini tutup. Lalu, buka lagi smelter di sana dan dapat barang mentah dan bahan baku dari Indonesia. Apa yang didapat pemerintah? Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tentu tak optimal, karena harganya saja sedang jatuh," terang Jonatan.

Menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017, pemerintah melonggarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP khusus untuk mengekspor ore nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen. Tak hanya itu, pemerintah juga memperbolehkan ekspor ore bauksit dengan kadar lebih besar dari 42 persen asal sudah melalui proses pencucian.

Ekspor diperbolehkan asal smelter bisa dibangun dalam jangka lima tahun ke depan, membayar bea keluar khusus, dan jika izin pertambangan adalah Kontrak Karya (KK), maka perusahaan tersebut harus mengubah izinnya menjadi IUPK. (bir)