JAKARTA – Pasar tembaga global diprediksi mengalami defisit untuk pertama kalinya dalam 6 tahun terakhir pada 2017. Oleh karena itu, harga komoditas ini diproyeksi meningkat dalam jangka panjang.
Pada penutupan perdagangan Jumat (24/2) di bursa London Metal Exchange (LME), harga tembaga naik 1,2% atau 69 poin menjadi US$5.982 per ton. Ini menunjukkan, sepanjang tahun berjalan, harga sudah bertumbuh 7,1%. Pada 2016, harga tembaga menguat 17,65%.
David Lilley, co-founder RK Capital Management LLC., menyampaikan harga tembaga telah meningkat seiring dengan penyusutan suplai, stabilnya permintaan China, dan prospek pertumbuhan konsumsi dari negara besar lainnya. Dari sisi pasokan, sentimen positif yang mendorong nilai jual ialah gangguan produksi di dua tambang terbesar di dunia, yakni Escondida di Cile dan Grasberg di Indonesia.
Pada 31 Januari 2017, pekerja di Escondida menolak nilai upah baru dan melakukan aksi mogok selama 5 hari. Namun hingga kini, pihak perusahaan BHP Billiton dan pekerja belum juga mendapatkan titik temu.
“Ketika harga tinggi, pekerja ingin meningkatkan pendapatannya. Kita sudah melihat dari awal tahun betapa signifikannya aksi mogok dari tambang terbesar di dunia itu terhadap harga tembaga,” papar Liley, Senin (27/2).
Bedasarkan salinan dokumen dari BHP Billiton, produksi tembaga di tambang Escondida mengalami penurunan. Tingkat produksi pada Januari 2017 hanya mencapai 77.113 ton dari target sebesar 102.040 ton. Angka ini juga turun 16,81% year on year (yoy) dari 92.700 ton pada Januari 2016 dan merosot 19,08% month on month (mom) dari 95.300 ton pada Desember 2016.
Sementara itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) belum akan melakukan ekspor, karena belum mencapai kesepakatan kerja sama dengan pemerintah. Terhentinya ekspor membuat tingkat operasional produksi ikut menurun.
Menurutnya, kondisi gangguan produksi dapat terus berlanjut dan membuat pasar tembaga pada 2017 berpeluang defisit untuk pertama kalinya dalam 6 tahun terakhir. Tiga faktor utama yang memengaruhi penipisan suplai ialah pemogokan pekerja, gangguan teknis, dan cuaca buruk.
Tahun ini, jumlah defisit tembaga diperkirakan mencapai 327.000 ton. Kondisi ini diproyeksikan berlangsung hingga 2020.
Sulit Ditanggulangi
Situasi pasar yang minim pasokan juga sulit ditanggulangi oleh perusahaan baru, karena investasi yang terlalu mahal dan besarnya risiko. Perusahaan penambang tentunya sadar setiap kenaikan pasokan dapat menekan harga.
Lilley, yang sudah berpengalaman 30 tahun dalam penelitian pasar tembaga, menyampaikan proyeksi bullish terhadap komoditas logam itu masih bisa berbalik. Adanya resesi bisa menyebabkan permintaan menurun, terutama dari China.
“Meningkatnya kegelisahan politik dan perang dagang antara China dengan AS menambah sentimen risiko terhadap permintaan logam.” tuturnya.
Selain RK Capital Management, Citigroup dalam risetnya pekan lalu juga memaparkan, pasar tembaga 2017 dapat mengalami defisit sebesar 68.000 ton, dan memuncak menjadi 246.000 ton pada 2019. Sentimen tersebut membuat harga tembaga bisa mencapai US$8.000 per ton pada akhir 2020.
Sementara itu, Daniel Morgan, analis UBS Group AG, mengatakan permasalahan suplai dari dua tambang terbesar, yakni Escondida dan Grasberg, akan menopang perbaikan harga tembaga.
Namun, harga tembaga masih berfluktuasi karena sikap spekulasi dari para investor. Dalam jangka pendek, harga berpotensi turun, tetapi masih menggiurkan untuk jangka panjang.
“Pada akhirnya harga akan ditentukan oleh faktor fundamental, dan saya pikir fundamental masih bagus,” ujarnya.
Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka, mengatakan tiga faktor utama yang mendukung harga tembaga yakni hambatan produksi akibat aksi mogok pekerja di tambang Escondida, gangguan pasokan dari tambang Grasberg, dan proyeksi peningkatan permintaan dari Amerika Serikat yang memacu belanja infrastruktur.
Namun demikian, keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan persetujuan ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PTAMNT) dinilai bakal menambah suplai global, sekaligus menekan harga.
Di sisi lain, sebagai perusahaan penambang tembaga terbesar di dunia, sinyal penaikan produksi dari grup Freeport bisa menggoda perusahaan di Cile untuk menjalin kesepakatan dengan pekerja. Tujuannya ialah melancarkan kembali kegiatan produksi agar tidak kehilangan pasar.
“Tidak hanya tambahan suplai dari ekspor langsung, tetapi pasokan dari Freeport memicu tambang di Cile untuk membenahi produksinya. Bisa jadi kesepakatan dengan pekerja segera dibereskan,” ujarnya.
Ibrahim menyimpulkan, meski dalam waktu dekat harga tembaga mengalami tekanan, tetapi untuk jangka panjang masih ditopang oleh proyeksi peningkatan permintaan. Oleh karena itu, harga masih berpeluang menyentuh level US$7.000 per ton antara 2017-2018.
“Secara fundamental untuk jangka panjang bisa membaik. Namun, masih ada gangguan sentimen dari rencana pengerekan suku bunga Federal Reserve,” tuturnya.(Bloomberg)