Di Depan Menteri ESDM Era Orde Baru, Dirjen Minerba Curhat Soal Pertambangan
Jakarta - Acara peluncuran biografi Soetarto Sigit di Tempo Scan Tower hari ini dihadiri oleh Profesor Subroto, Menteri Energi dan Pertambangan pada 1978-1988, dan Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono.
Di depan Subroto, Bambang menuturkan banyaknya masalah di sektor pertambangan pada hari ini. Mulai dari masalah lahan, izin tambang ilegal, hilirisasi, dan sebagainya. Menurut Bambang, salah satu akar penyebab masalah adalah tergerusnya kewenangan Kementerian ESDM di sektor pertambangan.
"Kekayaan geologi kita tidak ada artinya tanpa kebijakan yang tepat, tentu pada waktunya. Kalau saya melihat sekarang, otoritas pertambangan yang dulu cukup besar makin lama makin turun. Kenapa kita tidak bisa membuat mining policy? Masalah kehutanan keuangan kita sulit sekali mengaturnya," kata Bambang dalam diskusi di Tempo Scan Tower, Jakarta, Senin (7/11/2016).
Sekarang kewenangan terkait lahan untuk pertambangan banyak di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Sedangkan kebijakan soal penerimaan negara dari pertambangan dan insentif-insentif lebih banyak dipegang Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kemenkeu tidak melihat industri pertambangan sebagai bisnis yang perlu mendapat insentif-insentif khusus. Begitu juga Kementerian LHK, sangat membatasi izin kehutanan untuk kegiatan pertambangan.
"Umumnya mereka memperlakukan pertambangan sama dengan industri yamg lain. Kenapa sekarang pertambangan banyak permasalahan? Karena tubrukan dengan sektor-sektor lain, terutama masalah lahan. Izin pinjam pakai kehutanan sangat membatasi. Kita tidak bisa memberi insentif-insentif karena Kemenkeu mengatur lain," tukasnya.
Situasi di bisnis pertambangan makin kacau setelah otonomi daerah yang menyerahkan kewenangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada pemerintah daerah (pemda). Penerbitan IUP menjadi serampangan, banyak yang tidak Clean and Clear (CnC) karena tidak memenuhi aspek administrasi maupun kewilayahan.
IUP, Kontrak karya, dan PKP2B
Jumlah IUP langsung melonjak lebih dari 10 kali lipat dari 900 menjadi 10.000 sejak kewenangan diserahkan pada pemda. Tapi hanya sekitar 4.000 saja yang CnC, sisanya abal-abal.
"Setelah otonomi daerah (Otda), terjadi pendistribusian kewenangan. Sebelum 2009, pemerintah hanya menerbitkan 900 KP (Kuasa Pertambangan). Begitu Otda, sekitar 10.000 IUP keluar, kurang lebih 6.000 yang CnC, sisanya tidak," papar Bambang.
Ada kepala-kepala daerah yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena penerbitan IUP non CnC sarat dengan korupsi. "Gubernur Sultra berurusan dengan KPK karena tumpang tindih lahan pertambangan," ujarnya.
Masalah penting lain yang masih berlarut-larut adalah renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Kerja sama Pengembangan Batu Bara (PKP2B). "Di satu sisi swasta punya kontrak yang mengikat, negara ingin meminta lebih banyak. Kita sedang mencari keseimbangan dalam amandemen kontrak," ucap Bambang.
Lalu yang tak kalah penting, masalah hilirisasi mineral. Pemerintah saat ini sedang berupaya merevisi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba (UU Minerba) dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP 1/2014).
Menurut Bambang, banyak pengusaha yang tak mau membangun smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral), mungkin karena kurangnya insentif. "Yang paling ramai saat ini masalah hilirisasi. Permasalahannya ternyata tidak mudah dilakukan. Mungkin kurang menarik, kurang insentif," tukas dia.
Itulah tantangan-tantangan utama di sektor pertambangan pada hari ini. Pemerintahan saat ini sedang berupaya mencari jalan keluar atas masalah-masalah tersebut supaya kekayaan sumber daya alam dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Tetap prinsipnya tetap nomor satu, negara harus mendapat manfaat sebesar-besarnya," pungkasnya.