Bisnis.com, JAKARTA - Reli nikel yang kembali terjadi sejak perdagangan awal Juni lalu tampak semakin kokoh di tengah mayoritas harga logam dasar terkontraksi akibat ketegangan perang dagang AS dan China yang kembali tereskalasi.
Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun berjalan nikel merupakan logam dasar yang memiliki kinerja terbaik, dengan berhasil bergerak menguat 39,2% jauh memimpin kinerja logam dasar lainnya.
Adapun, nikel yang mengawali tahun ini dengan melaju kencang di zona hijau sempat tersendat pada April karena dibayangi sentimen lemahnya pertumbuhan ekonomi China, negara konsumen logam terbesar di dunia, sehingga menekan proyeksi permintaan.
Kendati demikian, pada perdagangan Selasa (6/8/2019) hingga pukul 10.23 WIB, harga nikel di bursa Shanghai bergerak di level 118,08 yuan per ton, menguat 1,76%. Pada perdagangan sebelumnya, nikel sempat menyentuh level 119.360 yuan per ton, menjadi level tertingginya sejak Mei 2015. Baca juga: Bursa Berjangka Jakarta Revitalisasi OLE10
Sementara itu, pada perdagangan Senin (5/8/2019), harga nikel di bursa London ditutup di level US$14.880 per ton, menguat 2,98% dan bergerak di dekat level tertingginya pada tahun ini.
Pemicu terbaru pada pergerakan nikel kali ini adalah adanya risiko gangguan pasokan dari Indonesia, negara produsen nikel utama, seiring dengan pelonggaran aturan larangan ekspor bijih nikel akan segera berakhir pada 2022 mendatang.
Sebagai informasi, sejak peraturan larangan ekspor beberapa komoditas mineral mentah dikeluarkan pada 2014 lalu, pemerintah Indonesia kemudian melonggarkan larangan tersebut pada 2017 untuk memberikan waktu bagi penambang untuk membangun smelter.
Aturan tersebut akan berlaku selama 5 tahun sejak 2017 sehingga ekspor bijih nikel dan beberapa komoditas mentah lain sepenuhnya akan dilarang pada 2022.
Hal tersebut merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan program hilirisasi sektor pertambangan dan dapat membatasi ekspor bahan baku atau bijih.
Adapun, pada awal Juli lalu, Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa pihaknya merencanakan akan terdapat 41 fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang siap beroperasi untuk menghasilkan produk setengah jadi, salah satunya nikel, hingga 2022.
Mengutip Reuters, salah satu analis nikel yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa beberapa orang memperkirakan Indonesia dapat memajukan larangan ekspor bijih mineralnya tersebut pada tahun ini.
"Saya tidak yakin seberapa benar perkiraan tersebut, tetapi sentimen tersebut telah membuat beberapa investor akan bertaruh untuk membeli nikel," kata dia.
Analis China Industrial Futures Co, Fan mengatakan bahwa harga nikel saat ini telah bergerak melampaui faktor fundamentalnya.
"Harga sesungguhnya menghadapi tekanan ke bawah di tengah prospek jangka menengah yang bearish untuk sisi penawaran dan permintaan," ujar Fan Bingting seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (6/8/2019).