Diminta Luhut, KPK Akan Awasi Kebijakan Hilirisasi Nikel
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tengah mengkaji kebijakan hilirisasi produksi nikel, menyusul ketentuan larangan ekspor bijih nikel. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, sebelumnya lembaga antirasuah itu telah diminta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk turut melakukan pendampingan dan pengawasan dalam hilirisasi nikel.
Permintaan ini dilakukan setelah Luhut mendapati lonjakan ekspor nikel mentah per bulan yang mencapai 100 hingga 130 kapal. Padahal, biasanya per bulan hanya 30 kapal.
Menanggapi hal itu, Febri mengatakan KPK telah melakukan rapat koordinasi dengan Kemenko Kemaritiman dan Investasi terkait masalah tersebut. Rakor telah dilakukan dua kali pada 24 dan 25 Oktober serta akan berlanjut pada hari ini, Kamis 31 Oktober 2019.
Febri mengatakan, dalam rapat tersebut disampaikan bahwa kewenangan dan domain KPK adalah melakukan penelitian. "Kami juga sedang lakukan penelitian terkait hilirisasi dan produksi nikel tersebut," kata Febri, Rabu kemarin.
Saat ini, sesuai permintaan Luhut, penelitian oleh KPK masih berjalan dan terus dilakukan koordinasi terkait temuan-temuan awal agar tidak menjadi masalah yang lebih besar. Menurut Febri, kajian terkait hilirasi produksi nikel mengarah pada pengolaan nikel di Indonesia dengan kebutuhan smelter atau pabrik pengolahan tambang yang sesuai dengan ketentuan.
"Nah hal ini [nantinya] harus dipatuhi oleh semua perusahaan atau instasi terkait, ini yan perlu disosialisasikan lebih lanjut dan standarnya ditetapkan jangan sampai kemudian aturan tersebut, meskipun belum sepenuhnya berlaku itu nanti dilanggar," kata Febri.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa pemerintah berencana menutup sementara keran ekspor biji mentah nikel atau ore. Kebijakan ini mulai diterapkan pada Selasa, 29 Oktober 2019 hingga sekitar dua pekan ke depan sebelum diberlakukan secara permanen pada Januari 2020.
Luhut mengatakan, kebijakan itu dilakukan lantaran telah terjadi over kuota ekspor nikel. "Ekspor nikel ore sudah melampaui hampir tiga kali lipat kuota yang ada," ujar Luhut di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Oktober 2019.