Disalip Morowali Industrial jadi produsen nikel terbesar, ini tanggapan Vale (INCO)
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peta industri nikel nasional bergeser dengan cepat. Dalam kurun waktu 4 tahun saja, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mampu menyalip posisi PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dalam penguasaan produk nikel di Indonesia.
Manajemen INCO pun buka suara terkait dengan kondisi tersebut. Chief Financial Officer INCO Bernardus Irmanto mengakui, secara volume, produk turunan nikel yang diproduksi INCO memang tersalip oleh IMIP. Dengan model bisnis baru, IMIP sangat agresif dalam pengembangan bisnisnya.
"Hampir setiap 12 bulan-18 bulan mereka menambah line produksi baru. Kalau kita lihat dari volume produksi, memang produksi nickel pig iron (NPI) IMIP saat ini jauh melebihi produksi Nickel Matte PT Vale," kata Bernardus kepada Kontan.co.id, Senin (19/10).
Menurut dia, penguasaan produksi nikel selayaknya tidak hanya dilihat dari sisi volume. Melainkan harus juga dilihat dari jenis produk yang dihasilkan, serta serapan dan prospek pertumbuhan industri hilir untuk jenis produk tersebut. Adapun, rata-rata produksi INCO dalam lima tahun terakhir ialah sekitar 76.000 ton.
"NPI saat ini semuanya akan diserap oleh produsen baja nirkarat, yang merupakan fokus dari beberapa perusahaan yang membangun smelters di IMIP. Sedangkan nickel matte lebih memiliki optionality, bisa diproses lanjut dan diserap oleh berbagai industri," terang Bernardus.
Merujuk pada data yang dipaparkan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai oleh Vale dengan porsi 77%. Disusul Antam dengan 19% dan perusahaan lainnya sebanyak 3%.
Namun, peta industri hilir nikel hingga produk setengah jadi (intermediate product) itu telah berubah dengan drastis. Pada 2018, IMIP sudah menguasai 50% dari produksi hilir nikel di Indonesia.
Porsi Vale pun susut jadi 22% dan Antam hanya 5% saja. Perusahaan nikel BUMN itu bahkan sudah tersalip oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11%, Harita Group 6% dan perusahaan lainnya sebanyak 6%.
"Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya," ungkap Irwandy dalam webinar tentang pemanfaatan nikel yang digelar Selasa (13/10).
Menurut Irwandy, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.
Secara keseluruhan, lebih dari 90% produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis NPI. "Perkembangan produksi smelter cukup signifikan, tetapi 99%, atau semuanya 100% masih intermediate produk. 90% lebih adalah produk NPI," ujar Irwandy.
Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau FeroNikel. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) masih mini.
Saat ini, kebutuhan nikel global juga masih didominasi untuk industri stainless steel sebesar 71%. Sedangkan untuk kebutuhan industri lainnya masih mini, seperti baterai yang sebesar 3%.
Namun, pembangunan smelter di Indonesia sudah mulai beragam. Irwandy mengungkapkan, paling tidak sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter nikel dengan High Pressure Acid Leaching (HPAL). Dari keenam smelter HPAL itu, lima diantaranya ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2021 mendatang.
Keenam perusahaan yang membangun smelter HPAL itu adalah PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Huayue, PT QMB dan PT Vale Indonesia.
Belum lagi, rencana holding pertambangan MIND ID untuk membangun smelter HPAL yang terintegrasi dengan industri baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi listrik (storage). MIND ID melalui Antam, bersama PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) rencananya akan membangun dua pabrik baterai integrasi.
Senada dengan Irwandy, Bernardus juga optimistis pasar nikel akan semakin berkembang. Meski industri stainless steel masih mendominasi, tapi industri baterai dan mobil listrik mendorong pengembangan industri nikel. Merujuk pada sejumlah analis, Bernardus menyampaikan bahwa pada tahun 2030 pasar nikel dunia bisa naik dua kali lipat.
"Dengan catatan bahwa adopsi mobil listrik seperti yang diharapkan. Pasar stainless steel akan tetap tumbuh tapi diperkirakan tidak akan signifikan," kata Bernardus.
Dengan melihat proyeksi tersebut, pabrik pengolahan bijih nikel yang diharapkan tumbuh adalah HPAL, yang akan memproses bijih limonite menjadi MHP dan MSP. Selanjutnya, akan diolah menjadi nikel sulphate sebagai bahan precursor baterai. Namun, saat ini proyek pengembangan HPAL masih terbatas.
INCO pun sedang berinvestasi untuk mengembangkan pabrik HPAL. "PT Vale adalah satu perusahaan yang akan berinvestasi dalam pengembangan pabrik HPAL dengan menggandeng Sumitomo," sebut Bernardus.
Lebih lanjut, dia pun menyambut positif adanya ketertarikan Tesla yang dikabarkan akan membangun pabrik baterai di Indonesia. Namun, Bernardus menekankan bahwa rencana tersebut harus disikapi dengan hati-hati mengingat Tesla sangat concern terhadap isu lingkungan dan pasokan nikel yang berkelanjutan.
"Jadi perlu dipikirkan bagaimana Indonesia bisa memainkan peran strategis dalam percaturan bisnis batterai mobil listrik dengan tetap mengedepankan aspek sustainability," kata Bernardus.
Sebagai informasi, merujuk pada data dari Badan Geologi Kementerian ESDM, hingga Juli 2020, total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11,88 miliar ton. Sedangkan total sumber daya logam nikel sebesar 174 juta ton.
Lalu, neraca cadangan bijih nikel hingga Juli 2020 tercatat sebesar 4,34 miliar ton. Sementara total cadangan logam nikel sebesar 68 juta ton. Data tersebut dikumpulkan dari 328 lokasi di Indonesia. Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara menjadi tiga provinsi dengan sumber daya dan cadangan nikel terbesar.
Adapun, saat ini terdapat 292 perusahaan nikel yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 4 perusahaan yang memegang Kontrak Karya (KK). Saat ini terdapat 11 smelter nikel eksisting dengan berbagai jenis produk yang dihasilkan, dan masih ada 18 proyek smelter nikel lainnya yang sedang dibangun.
Mengutip data Ditjen Minerba Kementerian ESDM, produksi olahan nikel pada tahun 2019 mencapai 1,78 juta ton. Melesat sekitar dua kali lipat dari produksi pada tahun 2018 yang sebesar 857.166 ton. Pada tahun, rencana produksi olahan nikel mencapai 2.023.490 ton.