Disebut Gulung Tikar Akibat PP 1/2017, Pelaku Usaha Smelter Lakukan Klarifikasi
Sebelumnya, data IRESS menyebutkan bahwa terdapat 11 perusahaan smelter berhenti beroperasi akibat berlakunya PP No.1 Tahun 2017
Pelaku usaha pemurnian dan pengolahan mineral logam (Smelter) melakukan klarifikasi di hadapan wartawan terkait pemberitaan sejumlah media yang menyebutkan adanya perusahaan smelter yang gulung tikar akibat kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Kami masih beroperasi sampai saat ini, salah satu project kita ada di Sulawesi Tenggara. Menunjukkan kegiatannya di 8 agustus 2017. Jadi kabar yang beredar dan dinyatakan oleh teman-teman Asosiasi itu kurang tepat. Kami masih beroperasi dengan sangat baik jad kalau ada kata-kata gulung tikar itu terlalu berani,” ujar Direktur Bisnis Blackspace, Yosef Paskananda, Rabu (10/8), di Kantor Blackspace, Jakarta.
Yosef membantah informasi yang menyatakan bahwa Blackspace merupakan salah satu perusahaan smelter yang gulur tikar sebagaimana diberitakan sebelumnya. Di hadapan wartawan, Yosef bahkan menjelaskan perusahaannya tengah membangun 10 semlter di Kabaena, Sulawesi Tenggara. Dari 10 smelter tersebut, 2 diantaranya bahkan telah beroperasi walaupun belum mulai melakukan penjualan secara komersil.
“Di Indonesia, Blackspace mengoperasikan beberapa jenis bisnis, terutama yang saat ini kita bahas soal smelter. Smelter yang sedang kita bangun ada 10, tapi kita masih melakukan standarisasi (terhadap 2 smelter yang sudah beroperasi), sisanya masih progress,” terang Yosef.
Menurut Yosef, meskipun harga pasaran nikel menurun akibat dibukanya keran ekspor oleh Pemerintah, Perusahaannya berencana untuk membuka 52 lini produksi smelter di Morowali untuk meningkatkan produksi.
“Kenapa? karena ongkos produksi kita yang paling rendah di antara teknologi-teknologi yang ada. Kita confidence di situ. Jadi kita kalau harga turun, kita tambah lagi smelter biar produksi meningkat,” ujarnya.
Selanjutnya, Yosef juga menegaskan sikap Blackspace yang mendukung kebijakan Pemerintah yang pernah menutup keran ekspor. “Kita mendukung, kita mengikuti instruksi pemerintah untuk membangun smelter di sini. Jadi entri poin kita di Sultra itu adalah kita mendukung sepenuhnya Pemerintah. Di saat orang-orang lesu, (kemudian) kita membangun, itu tambang-tambanng di sekitar kita hidup lagi,” katanya.
Kemudian, Yosef memaparkan bahwa perusahaannya saat ini telah mengantongi Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IOP OP) dari Kementrian Energid dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekaligus Ijin Usaha Industri (IUI) dari Kementrian Perindustrian.
Sementara jumlah investasi yang telah dikeluarkan Blackspace di Indonesia kurang lebih sebesar 2 triliun. “Belum termasuk tambang, baru di infrastruktur saja. Di Morowali lagi proses Amdal, terkait masalah itu sudah diperisapkan. Kalau yang sepuluh ini selesainya mungkintahun depan. Mudah-mudahan bisa lebih cepat,” terang Yosef.
Hadir di saat yang sama, Direktur PT. Macika Mineral Industri, Ramli Halim, yang juga disebutkan ikut gulung tikar sebelumnya. Ramli mengatakan tidak benar bahwa perusahaan smelternya berhenti beroperasi. Sebab, menurutnya, smelter yang dibangun perusahaannya memang belum beroperasi secara komersial.
"PT Macika Mineral Industri memulai pembangunan smelter tahap 1 dengan pada 16 April 2014, dilanjutkan dengan pekerjaan pemasangan mesin dan perlengkapannnya pada Maret 2015 dan ditargetkan mulai produksi pada akhir kuartal pertama tahun 2016," katanya.
Namun karena berdasarkan perkiraan harga nikel tidak akan membaik pada 2016, maka pihaknya menghentikan sementara proses pembangunan smelter di lapangan. (Baca Juga: Dampak PP 1/2017 Mulai Terasa, 11 Smelter Berhenti Beroperasi)
"Pada akhir 2015, di mana pembangunan smelter tahap 1 sudah mencapai tahap akhir, kami menghentikan sementara waktu semua kegiatan di lapangan sambil menunggu waktu yang lebih tepat seperti harga nikel yang dapat mencapai nilai keekonomian biaya produksi baru melanjutkan kembali kegiatan di lapangan," terang Ramli.
Untuk itu, Ramli menambahkan pemberitaan yang menyebutkan bahwa perusahaannya berhenti beroperasi karena merugi tidaklah benar. "Sehingga pemberitaan di berbagai media yang menyebut perusahaan kami termasuk perusahaan smelter yang rugi hingga gulung tikar adalah tidak benar, karena kami belum melakukan kegiatan operasional usaha secara komersial," pungkas Ramli.
Data IRESS Indonesia Resources Studies (IRESS), sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat 11 perusahaan smelter berhenti beroperasi. Keseblas perusahaan tersebut, menurut IRESS diantara adalah Blackspace dan Macika Mineral Industri.
Menanggapi bantahan kedua perusahaan tersebut, Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara melalui sambungan telepon kepada hukumonline mengatakan adanya pendekatan yang berbeda yang digunakan oleh IRESS untuk mengklasifikasikan kedua perusahaan tersebut dalam kategori 11 perusahaan yang berhenti beroperasi.
“Intinya kan data yang kita dapat itu ada yang mensurvey. Dari asosiasi yang memang masih beroperasi tapi tidak sesuai dengan rencana. Itu yang saya dapat, jadi kalalu disebutkan masih beroperasi bisa saja. Tapi kapasitas atau volume operasinya lebih rendah dari yang direncanakan. Secara garis besar begitu.” Ujar Marwan.
Marwan memaklumi adanya perbedaan pandangan dari kedua pihak. Ia menjelaskan dengan menggunakan asumsi harga nikel yang rendah di pasaran akibat jumlah pasokan yang bertambah akibat kebijakan relaksasi ekspor yang dikeluarkan Pemerintah.
“Hukum suplay demand saja, suplay melimpah harga turun. Tapi suplay ini kalau dengan cara yang legal gak masalah (PP 1/2017 yang dianggap bertentangan dengan UU Minerba), tapi kan tidak legal karena melanggar UU. Anda bolehkan ekspor konsentrat sehingga ekspor bertambah, harga turun,” tegas Marwan.
IRESS sendiri menurut Marwan memperoleh data mengenai 11 perusahaan smelter yang berhenti beroperasi dari Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I). “Iya, ada dari asosiasi memang.” Aku Marwan.
Sementara Wakil Ketua Umum (AP3I), Jonatan Handojo, saat dihubungi hukumonline, belum bisa memberikan keterangan karena sedang rapat dengan sejumlah pihak.