Divestasi Freeport Indonesia Tidak Kunjung Selesai, Begini Penjelasan Inalum
“Freeport mesti diskusi dengan ESDM dan lingkungan (KLHK) untuk bisa menyelesaikan urusan antara mereka. Kalau sudah selesai, kita sih sudah siap bayar, anytime,”
Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin
TRIBUN-MEDAN.com-PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum masih belum bisa menggenggam 51% saham PT Freeport Indonesia (PT FI).
Sebab, walau telah memiliki dana untuk melunasi pembelian mayoritas saham PTFI yang seharga US$ 3,85 miliar itu, Inalum masih harus menunggu sejumlah penyelesaian kewajiban dari PT FI.
Meski demikian, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin bisa sedikit bernafas lega.
Sebab, apa yang menjadi kewajiban Inalum telah terpenuhi setelah holding industri pertambangan ini sukses mendapat pendanaan sebesar US$ 4 miliar.
Dana segar itu didapat Inalum melalui penerbitan obligasi global atau global bond yang pada 15 November 2018 telah ada direkening Inalum.
Dengan ini, Budi sesumbar bahwa Inalum siap membayar kapan saja, asalkan semua kewajiban tersebut telah diselesaikan PT FI.
Adapun, sejumlah hal yang harus dituntaskan PT FI adalah kewajiban lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kementerian ESDM.
“Freeport mesti diskusi dengan ESDM dan lingkungan (KLHK) untuk bisa menyelesaikan urusan antara mereka. Kalau sudah selesai, kita sih sudah siap bayar, anytime,” ungkap Budi di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Jadi, kini penyelesaian divestasi bergantung pada cepat atau lambatnya penuntasan kewajiban dari PT FI.
Saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengungkapkan, selain tengah dalam proses menyelesaikan kewajiban lingkungannya, saat ini PT FI masih melakukan negosiasi dengan pemerintah.
Riza mengungkapkan, negosiasi yang dimaksud tersebut terdiri dari lima pokok pembahasan. Yakni seputar divestasi, smelter, peningkatan penerimaan negara, stabilitas investasi, serta kelangsungan operasi sampai 2041.
“Semuanya diselesaikan dalam satu kesepakatan,” ungkapnya.
Riza memang tak menjelaskan secara detail bagaimana progres dari proses negosiasi tersebut.
Namun, ia tak memberikan bantahan bahwa dalam negosiasi itu, PTFI masih berkeinginan untuk mendapatkan izin operasi langsung secara 20 tahun sejak berakhirnya kontrak pada tahun 2021.
Tapi, pemerintah tampaknya masih bersikukuh untuk memberikan izin operasi dengan skema 2x10 tahun.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pengusahaan Pembinaan Mineral Kementerian ESDM Bambang Susigit. “IUPK permanen akan terbit dan untuk 2x10 tahun dengan syarat-syarat,” ujarnya.
Selain soal IUPK, PTFI juga harus terlebih dulu harus menyelesaikan kewajiban lingkungannya. Sebab, dalam IUPK tersebut, akan dilampirkan roadmap pengelolaan lingkungan dalam aktivitas pertambangan PTFI.
Adapun, menurut Riza Pratama dan juga Inspektur Jenderal KLHK yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Tim penanganan masalah lingkungan PT FI Ilyas Assad, roadmap pengelolaan lingkungan tersebut ditargetkan bisa selesai pada bulan November ini.
Selain menyelesaikan kewajiban lingkungan dan negosiasi dengan pemerintah Indonesia, Freeport pun harus mengurus kelengkapan administrasi yang perlu diperoleh, yakni berupa pelaporan persaingan usaha (anti-trust filing) di lima negara, yakni Republik Rakyat Tiongkok, Indonesia, Jepang, Filipina dan Korea Selatan.
Namun, Rendi yakin, perizinan anti-trust ini tak akan sampai menghambat target penuntasan divestasi yang dipatok pada Desember nanti.
Sebab, Rendi bilang, regulator di negara-negara tersebut sudah memberikan indikasi bahwa semuanya bisa selesai sesuai dengan waktu yang direncanakan.
“Anti trust sedang jalan semua, kita optimis Desember semuanya selesai,” katanya.