Duh, Nikel RI Cuma Dibeli Rp 300 Ribu/Ton oleh Smelter China
Jakarta, CNBC Indonesia - Dua pekan terakhir wacana soal larangan ekspor bijih nikel meramaikan pemberitaan. Larangan yang semestinya berlaku pada 2022, kini dikabarkan dipercepat dan berlaku di tahun ini.
Penambang nikel akhirnya buka suara. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey membeberkan alasan mengapa pihaknya tetap kekeuh agar pemerintah tidak mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel.
Meidy mengungkapkan, bukan hanya karena pengusaha nasional menaruh harapan tinggi pada hasil ekspor, tetapi juga berkaitan dengan harga.
Pasalnya, lanjut Meidy, selama ini, apabila bijih nikel dijual ke pasar domestik, harganya bisa di bawah Harga Patokan Mineral (HPM). Terlebih, yang terjadi saat ini, kadar yang diminta oleh pembeli domestik adalah kadar tinggi, yakni di atas 1,8%.
Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.
"Tapi, harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000 per ton, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," imbuh Meidy.
Baca: Nikel Dilarang Ekspor, Pengusaha Kirim Surat ke Jokowi!
Harga yang rendah ini, menurut APNI, tidak terlepas dari adanya permainan kadar atau kartel yang dilakukan oleh pembeli domestik, dengan menggunakan lembaga survei yang bukan ditunjuk pemerintah Indonesia.
Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut, dan juga uji kadar logam nikel.
Hasilnya, kata Meidy, terjadi perbedaan jauh dari hasil uji kadar logam nikel antara yang dilakukan surveyor yang ditunjuk pemerintah dengan yang ditunjuk pembeli.
Baca: Kisah Luhut & Smelter China di Balik Larangan Ekspor Nikel
"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.
Ia mengungkapkan, penurunannya bisa jauh, dari 1,8% bisa menjadi 1,5%, bahkan 1,3%. Ini tentu berpengaruh ke harga jualnya. Kata Meidy, bisa US$ 11-15 per ton.
"Jadi menurut kami, harus ada pengawasan pemerintah kepada pembeli juga, tidak hanya di penjual saja," tambahnya.
Hal inilah, yang menjadi dasar APNI untuk kekeuh melakukan ekspor sampai batas waktu yang sudah ditentukan dalam peraturan, yakni sampai 2022.
"Jual ke domestik itu, harganya lebih rendah, padahal kadarnya tinggi, selain itu surveyornya juga ditunjuk sendiri oleh pembeli, tidak terdaftar ada kartel permainan kadar, dan bayarnya juga lama, bisa 3-5 bulan," pungkas Meidy.