EKSPOR MINERAL MENTAH, Progres Smelter Berjalan Lambat
Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki triwulan ketiga tahun ini, progres sebagian besar pembangunan smelter oleh para penerima rekomendasi ekspor masih berjalan lambat.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari delapan smelter konsentrat dan lumpur anoda yang dibangun oleh para penerima rekomendasi, tercatat baru dua smelter yang pembangunannya telah mencapai 100%.
Terdapat tiga smelter yang belum memulai tahap kontruksi atau capaian kemajuan fisiknya masih 0%, antara lain PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, dan PT Smelting. Ketiganya masih dalam tahap perencanaan awal dengan capaian pembangunan kumulatif per 30 September 2018, antara lain PTFI 2,5%, Amman 10,10%, dan Smelting 4,83%.
Kondisi yang sama juga terjadi pada pembangunan smelter nikel. Dari 18 smelter nikel yang dibangun, tercatat baru enam yang sudah mencapai 100%. Sisanya, capaian bervariasi, ada yang masih 0% hingga 76,38%.
Sedangkan untuk pembangunan smelter yang mengolah bauksit menjadi alumina, dari tujuh smelter baru dua smelter yang sudah mencapai pembangunan fisik 100%, yakni milik PT Antam Tbk. dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery. Sisanya masih di bawah 1%. Adapula yang belum memulai persiapan sama sekali, yakni PT Lobindo Nusa Persada.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, pada tahun-tahun pertama pembangunan smelter memang masih berjalan lambat. Hal itu disebabkan perusahaan-perusahaan pembangun smelter masih melakukan persiapan awal.
"Jadi membangun smelter itu tidak langsung fisik mesti studi teknologi dulu. Untuk membentuk persiapan-persiapan itu sampai bankable paling tidak butuh 1-2 tahun. Kayak kurva S, mendatar dulu langsung naik. Jadi tidak mungkin dalam waktu singkat bangun fisik," ujar Bambang ditemui di Gedung DPR RI, Senin malam (1/10).
Dia berujar meskipun masih banyak perusahaan yang kemajuan fisik baru 0%, asalkan kemajuan persiapannya sudah mencapai 90% dari target rencana per 6 bulan, hal itu tidak menjadi masalah. Dalam tahun ketiga nanti, katanya, progres pembangunan fisik baru akan terlihat signifikan.
Adapun berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 6/2017, pembangunan smelter menjadi salah satu syarat bagi perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi ekspor nikel dan bauksit. Progres pembangunan harus mencapai 90% dari rencana per enam bulan.
Direktur Pengusahaan Pembinaan Mineral Kementerian ESDM Bambang Susigit berujar, kemajuan pembangunan smelter sudah mencapai rata-rata sudah sesuai target rencana 6 bulan. Bila yang tak memenuhi target sudah dipastikan akan dicabut izin rekomendasi ekspornya.
"Kalau nggak capai target dicabut lah," katanya.
Adapun pada Agustus lalu, sudah ada empat perusahaan yang dicabut sementara izin ekspornya. Keempatnya terdiri atas tiga perusahaan tambang nikel dan satu perusahaan tambang bauksit.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, tiga perusahaan tambang nikel yang dicabut sementara izin ekspornya, yakni PT Surya Saga Utama, PT Modern Cahaya Makmur, dan PT Integra Mining Nusantara. Total volume kuota ekspor bijih nikel ketiganya mencapai 4.222.119 wet metric ton (wmt). Sementara perusahaan tambang bauksit yang dicabut izin ekspornya adalah PT Lobindo Nusa Persada.
Selain empat perusahaan tersebut, kata Bambang, belum ada lagi yang izinnya dicabut.
Sementara itu, Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, pembangunan fisik smelter masih menunggu kepastian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) terbit.
"Nunggu selesai semua. Bukan hanya divestasi, tapi juga kelangsungan operasi hingga 2041," kata Riza.
Kendati masih menunggu, pihaknya telah mengeluarkan investasi sekitar US$150 untuk tahap persiapan, seperti studi, pembuatan desain smelter, dan pemadatan tanah.