JAKARTA--Emiten tambang logam PT Kapuas Prima Coal Tbk. berencana melebarkan sayap usaha dengan mengakuisisi 50% saham proyek smelter seng di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Hendra Susanto, Direktur Keuangan Kapuas Prima Coal, menyampaikan berdasarkan regulasi pemerintah, perusahaan tambang mineral diwajibkan membuat smelter atau fasilitas pemurnian. Oleh karena itu, emiten berkode saham ZINC tersebut berencana mengakuisisi sebagian saham perusahaan industri konsentrat seng dan pengolahan seng oksida.
Proyek yang terletak di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, tersebut merupakan milik Merlion Resources Holding Limited (MRHL). Pada 25 Juli 2018, ZINC bersama MRHL sudah melakukan penandatanganan perjanjian sebagai langkah awal akuisisi.
“Rencananya kami mengambil saham di proyek pemurnian itu sebesar 50%,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Senin (30/7).
Menurutnya, ZINC menyiapkan belanja modal senilai US$30 juta untuk mengembangkan proyek smelter seng pada tahap awal setelah akuisisi. Dana tersebut bersumber dari kas internal perseroan.
Di dalam pipeline yang disusun ZINC bersama MRHL, smelter seng ini nantinya memiliki kapasitas produksi 30.000 ton ingot per tahun. Adapun, lokasinya berdekatan dengan tambang milik ZINC sehingga kinerja operasional lebih hemat dan terkendali.
Selain mengolah seng dari tambang ZINC, smelter tersebut juga membuka diri untuk menyerap bahan baku dari tambang lain. Hasil pemurnian akan didistribusikan ke pasar Asia, seperti Jepang dan China.
Hendra berharap, proses akuisisi proyek smelter ini dapat rampung dalam 6 bulan ke depan. Persiapan perizinan cukup panjang karena melibatkan berbagai unsur, seperti penanaman modal asing (PMA), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan perpajakan.
Kinerja Perusahaan
Pada semester I/2018, penjualan ZINC mencapai Rp372,53 miliar, menanjak 140,87% year on year (yoy) dari sebelumnya Rp154,66 miliar. Adapun, laba bersihnya melesat 662,83% yoy dari Rp11.12 miliar pada semester I/2017 menjadi Rp84,86 miliar.
Hendra menyampaikan, peningkatan kinerja perseroan didorong oleh naiknya produksi dari 1.500 ton per hari menjadi 2.500 ton per hari pada tahun lalu. ZINC juga sudah mengantongi kontrak jual beli konsentrat seng dan timbal dengan MRHL mulai April 2018 hingga Desember 2018.
“Nantinya penjualan ke Merlion bisa mencapai 50% dari total penjualan 2018,” tuturnya.
Di samping itu, perseroan sudah fokus mengembangkan underground mining. Proyek tersebut, imbuh Hendra, membuat ZINC dapat menambang timbal dengan kandungan perak yang dapat dikomersilkan.
Pada September--Oktober 2018, perseroan berencana meningkatkan kapasitas produksi seng dan timbal di pabrik menjadi 600.000 ton per tahun dari sebelumnya 360.000 ton per tahun. Realisasi rencana ini mundur dari sebelumnya pada Juli 2018.
Menurut Hendra, proses peningkatan kapasitas pabrik saat ini baru mencapai 85%. Penyebab kemunduran dari rencana awal ialah kendala hujan, sehingga kinerja operasional tidak bisa maksimal.
“Sampai bulan ini, di Kalimantan masih suka hujan 2-3 hari, sehingga operasional belum optimal,” imbuhnya.
Tantangan lain yang mendera industri logam ialah tertekannya harga komoditas mineral akibat penguatan dolar AS. Oleh karena itu, ZINC mencoba melakukan efisiensi operasional sambil tetap mengejar target pendapatan yang sudah dicanangkan, yakni sebesar Rp1,1 triliun pada 2018. (Hafiyyan)