ESDM: Nikel Masuk Daftar 8 Jenis Mineral yang boleh Diekspor
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tuntas segera dalam waktu dekat.
Setidaknya ada enam poin utama perubahan, yang salah satu mengizinkan kembali ekspor delapan jenis mineral tambang bagi perusahaan yang membangun fasilitas pemurnian (smelter).
Perubahan beleid ini dipercepat sebagai alternatif jika revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) tidak rampung di parlemen pada akhir tahun.
Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan ada enam poin perubahan dalam revisi PP Nomor 1 tahun 2014 guna memberi kejelasan bagi pelaku usaha. Revisi PP ini diharapkan bisa rampung selepas dirinya melakukan lawatan ke Jepang pada pekan ini.
"Ada beberapa item yang diharapkan bisa rampung, misalnya menyangkut masalah pengawasan, kewenangan dari Provinsi ke Kabupaten, sehingga kira-kira ada enam item yang dibahas. Kami mohon kepada tim ahli untuk melakukan studi lagi," jelas Luhut di Gedung Kementerian ESDM, Selasa (4/10).
Ia melanjutkan, revisi PP juga mencakup kebijakan relaksasi ekspor mineral mengingat sesuai pasal 15 Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2014, ekspor mineral tidak lagi diperbolehkan mulai Januari 2017.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman itu menjamin izin ekspor mineral akan diberikan bagi perusahaan-perusahaan pertambangan yang sedang membangun smelter. Terkait itu, pemerintah tengah menggodok teknis pemberlakuan relaksasi ekspor menurut tingkatan kemajuan pembangunan smelter.
Salah satu dari rencana delapan komoditas yang diperbolehkan untuk diekspor adalah nikel dengan kadar 1,8 persen. Luhut menyebut, saat ini smelter domestik belum bisa mengolah nikel dengan kadar yang dimaksud.
Kendati demikian, ia tak menyebut ketujuh jenis komoditas lainnya. Ia juga tidak merinci, apakah bijih atau mineral saja yang diperbolehkan untuk diekspor.
"Jadi sepertinya nikel itu boleh diekspor karena kan di dalam negeri tidak sanggup untuk diolah. Dalam negeri tak bisa diproses," tambahnya.
Namun, lanjutnya, relaksasi ekspor ini akan dibatasi tiga hingga lima tahun saja, sesuai dengan rentang waktu yang diberikan pemerintah bagi perusahaan untuk merampungkan smelter-nya.
"Tentu saja kami akan awasi setiap progress-nya," jelasnya.
Sebelumnya, Luhut mengatakan kebijakan relaksasi ekspor ini ditujukan bagi perusahaan tambang yang sedang kekurangan dana dalam membangun smelter. Sehingga, faktor utama yang menentukan jangka waktu dan volume relaksasi ekspor mineral pasca tahun 2016 adalah kemajuan pembangunan smelternya.
Di tahap awal, tuturnya, pemerintah akan mendata kemajuan masing-masing perusahaan tambang yang membangun smelter. Dari angka tersebut, bisa terlihat berapa lama sisa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan smelter.