ESDM Pertimbangkan beberapa Opsi Payung Hukum untuk Hilirisasi Mineral
JAKARTA – Pemerintah tengah mempertimbangkan beberapa opsi payung hukum terkait program hilirisasi mineral tambang dalam negeri. Pasalnya, hilirisasi mineral tambang sudah harus terealisasi sejak 12 Januari 2017 melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri.
Artinya, perusahaan tambang untuk komoditas mineral tidak bisa lagi mengekspor ore atau mineral olahannya, terkecuali sudah melakukan pemurnian. Sebab itu, untuk menjamin kepastian investasi tersebut, pemerintah telah menyiapkan beberapa opsi payung hukum. Di antaranya revisi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), meskipun pemerintah masih menunggu inisiatif dari DPR, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri ESDM.
“Beberapa opsi (payung hukum) sedang dipertimbangkan, kita lihat mana yang terbaik,” ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (11/11).
Pemerintah sebelumnya menegaskan akan memberikan insentif bagi perusahaan tambang yang meningkatkan nilai tambah pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral di dalam negeri.
Namun, pemerintah belum mau menyebutkan komoditas mineral apa saja yang akan mendapatkan insentif tersebut. Pasalnya, insentif ini merupakan bagian integral dari persyaratan pelaku usaha untuk membangun smelter.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan, pemerintah saat ini sedang mengevaluasi kemajuan perusahaan tambang yang dikenai kewajiban membangun smelter.
“Yang jelas begini, kita sekarang sedang mengevaluasi dengan sesuai yang saya katakan tadi, sesuai dengan persyaratan tadi adalah membangun smelter. Memang hal yang menjadi pertimbangan, pertama apakah smelter yang dibangun itu sudah cukup, kita anggap sudah cukup dalam rangka yang pertama tentunya memenuhi demand dalam negeri,” ujar Bambang di Jakarta, Selasa (1/11).
Kedua, lanjut Bambang, aspek konservasi yang berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan pengaruh daripada keekonomian ataupun harga daripada komodoti tersebut.
“Oleh karena itu, pada saat ini saya belum bisa menyebutkan komoditi mana yang akan diberikan insentif. Tetapi, saya kira dengan melihat gambaran yang sudah disampaikan tadi tentunya teman-teman wartawan bisa memperkirakan mana yang dengan kecukupan, karena ini masih dalam proses. Jadi saya tidak ingin mendahului, tapi yang ingin saya katakan adalah persyaratan membangun, kecukupan jumlah, kemudian pengaruh daripada harga ekonomi dan daya dukung lingkungan akan menjadi pertimbangan kita,” tuturnya.
Adapun perizinan ekspor, kata Bambang, juga akan dikenakan bea keluar (BK). Hal ini sesuai dengan kemajuan pembangunan smelter. “Selanjutnya BK besarannya berapa, kembali lagi kita perlu menghitung lagi. Apakah sama dengan yang kemarin, yang Permenkeu, belum tentu saya kira. Mungkin lebih besar, bisa jadi,” ungkapnya.
Agar tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kata dia, pemerintah juga sedang menyiapkan payung hukumnya. “Kita sedang menimbang payung hukumnya. Jadi beberapa aspek, tentunya payung hukum ini tidak bertentangan dengan UU Minerba. Yang jelas begitu. Jadi kita masih melihat beberapa aspek, mana yang kita gunakan, jangan sampai peraturan payung hukum juga nanti bertentangan dengan UU No4/2009. Itu kuncinya. Tapi sekarang, sedang kita proses, tentunya karena ini prosesnya yang panjang kita masih dengan sektor, tentunya biasanya ini yang menangani adalah Sekneg, tentunya kita akan berbicara itu. Kemungkinan-kemungkinan apa yang kita bicarakan terhadap proses yang mendukung hilirisasi, tapi yang jelas sebelum 12 Januari 2017, pemerintah harus bisa menerbitkan suatu komitmen atau ketentuan yang bisa memberikan gambaran seperti apa sesudah 12 Januari 2017,” pungkasnya.