ESDM Usulkan Enam Jenis Ore yang Tak Dapat Relaksasi Ekspor
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merekomendasikan enam jenis ore yang tidak bisa mendapatkan fasilitas relaksasi ekspor di tahun ini. Rekomendasi ini rencananya murni usulan Kementerian ESDM di dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, usulan itu tertuang di dalam surat Kementerian ESDM kepada Kementerian Koordinator bidang Perekonomian tanggal 28 Desember 2016 lalu. Ke-enam jenis ore yang tidak bisa mendapatkan fasilitas relaksasi ekspor tersebut adalah nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium.
"Untuk surat yang tertanggal 28 Desember 2016 ya seperti itu. Namun keputusannya masih menunggu rapat koordinasi dengan Kemenko Perekonomian. Kapan jadwalnya, kami masih belum tahu," tutur Bambang ditemui di kantornya, kemarin.
Selain menentukan jenis komoditas yang bisa diekspor, Kementerian ESDM juga mengusulkan bahwa perusahaan tambang yang memiliki izin Kontrak Karya (KK) perlu mengubah izinnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar bisa melaksanakan ekspor. Namun, ia masih belum tahu mekanisme peralihan kontrak yang menguntungkan kedua pihak.
Apalagi, izin ekspor konsentrat perusahaan berbentuk KK akan habis dalam waktu dekat. Sebagai contoh, izin ekspor konsentrat tembaga oleh Newmont, yang sekarang bernama PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) rencananya akan selesai 12 Januari 2017. Di samping itu, izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia juga akan habis tanggal 11 Januari 2017 mendatang.
Sampai saat ini, Bambang mengaku belum tahu apakah kedua perusahaan itu masih diperbolehkan ekspor atau tidak. "Klausul mencari jalan keluar yang baik itu memang tidak mudah. Nanti kami akan lihat seperti apa kedepannya," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa bea keluar dari relaksasi ekspor mineral ini akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan smelter oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh Menteri. Hal ini, terang Bambang, juga tercantum di dalam surat yang dikirimkan ke Kemenko Perekonomian.
Namun, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan besaran bea keluar yang diinginkan. Pasalnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih mengkaji besaran bea keluar yang paling optimum.
"Ini masih dirapatkan dengan Kemenkeu. Kemarin Pak Menteri usulkan di surat itu dan Menteri Keuangan minta diperhitungkan secara keekonomian.Nanti dibahas lagi, apakah bea keluar menjadi bagian dari pembangunan smelter atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)," terangnya.
Kendati telah memberikan usulan, namun belum tentu seluruh pendapat Kementerian ESDM ini disetujui Kemenko Perekonomian. "Ini yang terbaik dari kami dan sudah diajukan. Nanti biar Menko Perekonomian melihat hasilnya apa yang sebaiknya dilakukan. Kita tunggu arahan beliau saja," sambung Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di lokasi yang sama.
Selain tiga poin tersebut, surat tertanggal 28 Desember 2016 itu juga memuat poin lain yang terdiri dari batas waktu perpanjangan IUP atau IUPK minimal lima tahun sebelum kontrak berakhir, pelaksanaan divestasi saham yang bisa melalui skema penawaran umum di bursa saham, memperbolehkan ekspor hasil mineral asal IUP komitmen membangun smelter dan bea keluar, dan kewajiban pemurnian nikel kadar rendah. (gen)