Ekspor Bijih Nikel Berpotensi Hambat Pengembangan Wilayah Berbasis Industri
JAKARTA – Pemberian izin ekspor nikel ore kadar rendah, dinilai akan berdampak pada rencana strategis pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
M Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, berharap dampak pemberlakuan izin ekspor nikel kadar rendah tidak terlalu besar.
“Yang diharapkan industri sebenarnya harga nikel segera membaik, itu saja. Tapi menurut saya dalam jangka panjang aturan UU Minerba akan diperketat. Namun, karena saat ini untuk mengatasi kelesuan ekonomi, makanya keran ekspor dibuka. Karena kan penerimaan negara dari sektor mineral cukup besar,” ujar Nurdin di Jakarta belum lama ini.
Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, sudah menyikapi peraturan pemerintah berkenaan dengan larangan ekspor mineral mentah, dengan membentuk Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) seluas 3.000 hektar (Ha).
Kawasan ini memberikan segala kemudahan bagi investor dalam suatu layanan khusus melalui perusahaan daerah Bantaeng yang membuat Kabupaten Bantaeng diminati banyak investor dari dalam dan luar negeri untuk membangun smelter. Nurdin menambahkan, dengan mendorong pengembangan wilayah berbasis industri, Bantaeng akan menjadi salah satu pusat pengolahan nikel terbesar di dunia.
Sejumlah tenants di KIBA, antara lain PT Huadi Nickel Alloy, PT Titan Mineral Utama, PT Bantaeng Central Asia Steel, PT Sinar Deli Bantaeng, PT Intim Perkasa Energi, PT Multi Kilang Pratama, PT Sergion Techno, dan Inensunan Mills Indonesia.
“1.000 hektar untuk smelter, lalu yang 2.000 hektar untuk manufacturing, Agro industri, dan marine product. Sesuai perhitungan kami, 3.000 hektar itu perlu pembangkit listrik 2.400 MW,” tandas Nurdin.