Freeport Buka-bukaan, Proyek Smelter hingga Berhentinya Aktivitas di Grasberg
' />
JAKARTA, KOMPAS.com - PT Freeport Indonesia menyatakan, salah satu fokus yang akan dilakukan perusahaan pada tahun ini adalah dan peralihan aktivitas di tambang terbuka ke tambang bawah tanah atau underground pit Grasberg. Vice President Corporate Communications Freeport Indonesia Riza Pratama menyebutkan, cadangan mineral yang ada di tambang terbuka atau open pit Grasberg sudah habis. Ia bahkan memastikan bahwa sudah tidak ada aktivitas yang dilakukan di open pit Grasberg. "Open pit-nya sudah selesai. Sudah dibilang enggak ada aktivitas lagi di sana," kata dia di Jakarta.
Pasalnya, saat ini pengoperasian underground pit belum terlalu maksimal. Oleh karenanya, Freeport tahun ini akan fokus mengembangkan sekaligus mengoperasikan tambang yang berada di bawah tanah atau underground pit Grasberg. "Semua (penambangan) akan difokuskan underground," ujar dia. Sejak tahun lalu hingga tahun ini, produksi tambang diproyeksi akan berada di angka 120.000 ton ore per hari. "Baru pada tahun 2022 balik lagi 200.000 ton ore," kata Riza.
Riza menjelaskan, saat ini pihaknya sedang melakukan proses pemadatan tanah di lahan seluas 100 hektar yang bakal dibangun smelter. Hal ini dilakukan Freeport untuk memperkuat tanah di lahan tersebut. Pasalnya, lahan yang sebelumnya dimiliki oleh PT Pelindo III itu memiliki kandungan air yang cukup tinggi. "Sekarang itu sedang memadatkan tanah. Karena itu bekas tambak, pond. Tanahnya harus dipadatin dulu, dikeluarkan airnya," kata dia. Riza menjelaskan, proses pemadatan tanah ini memerlukan waktu 18 bulan. Sehingga, proses pemadatan yang sudah dilakukan sejak akhir tahun 2018 ini diharapkan rampung pada pertengahan 2020. "Sekarang sudah mendekati padat," ujar dia.
Dengan demikian, proses pembangunan fisik smelter ditargetkan mulai pada semester II tahun ini. "Kira-kira semester II tahun ini dibuat, 2023 mudah-mudahan selesai," katanya. Dengan akan beroperasinya smelter, Freeport meminta pemerintah untuk menarik investor asing membangun pabrik yang bisa menyerap lempengan tembaga hasil produksi. Pasalnya, saat ini Freeport melalui PT Smelting sudah bisa memurnikan 1 juta ton konsentrat tembaga setiap tahunnya. Namun, pabrik-pabrik dalam negeri hanya mampu menyerap 50 persen dari hasil pemurnian tersebut. Sementara sisanya masih diekspor ke luar negeri. "Jadi Freeport menghasilkan konsentrat, kemudian melalui smelting menghasilkan produk katoda, lempengan katoda. Yang diserap industri (dalam negeri) hanya 50 persen," tutur Riza.
Sebab, smelter Gresik yang rencananya mulai beroperasi pada tahun 2023 diperhitungkan mampu memproduksi lempengan katoda dengan kapasitas 2 juta ton. Maka, secara total, smelter-smelter yang dimiliki Freeport akan mampu memproduksi lempengan katoda dengan kapasitas 3 juta ton. Apabila pemerintah tidak mampu menarik investor dan menambah pelaku industri, maka diyakini lempengan konsentrat yang tidak terserap pelaku usaha dalam negeri akan semakin tinggi.
"Pemerintah ingin meningkatkan hilirisasi, makanya dibangun smelter kedua. Tapi, ini kan belum ada pabrik-pabrik lagi yang menampung," tuturnya. Menurut dia, produk dari smelter bukanlah suatu bentuk hilirisasi yang benar. Pasalnya, nilai tambah dari konsentrat ke lempengan tembaga tidak lebih dari 5 persen. " Tembaga yang kita hasilkan nilai tambahnya sudah 95 persen, kemudian yang dimurnikan jadi 100 persen," ucapnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Freeport Buka-bukaan, Proyek Smelter hingga Berhentinya Aktivitas di Grasberg", https://money.kompas.com/read/2020/01/24/084000726/freeport-buka-bukaan-proyek-smelter-hingga-berhentinya-aktivitas-di-grasberg?page=all. Penulis : Rully R. Ramli Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan