Jakarta – Kepemilikan mayoritas PT Inalum (Persero) atas saham di PT Freeport Indonesia belum memberi kepastian operasi. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu tetap menginginkan kelangsungan operasi tambang Grasberg di Papua hingga 2041. Kelanjutan operasi tambang pasca-berakhirnya kontrak di 2021 menjadi bagian dari negosiasi antara pemerintah dengan Freeport dalam menyusun lampiran izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, keberlangsungan operasi hingga 2041 dibicarakan dalam proses negosiasi. Dia menyebut negosiasi tidak hanya terkait perpanjangan operasi tapi juga terkait kendali tambang. “Masih (menginginkan kepastian) karena Freeport ingin memegang kendali operasi dan governance termasuk di dalamnya keuangan,” kata Riza di Jakarta, akhir pekan lalu.
Sebenarnya pada Agustus 2017 sudah disepakati secara umum terkait perpanjangan operasi tersebut. Kesepakatannya itu yakni Freeport diberi kesempatan operasi sampai 2041. Hanya saja perpanjangan diberikan bertahap 2x10 tahun. Perpanjangan itu terhitung mulai berakhirnya kontrak pada 2021, dan tidak bersifat otomatis melainkan harus melalui proses pengajuan dan ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
Namun Riza enggan membeberkan lebih lanjut apakah kepastian operasi serta pembagian kendali antara Freeport-Inalum tertuang dalam detail IUPK atau ada perjanjian terpisah, mengingat rezim IUPK bersifat prevailing atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bila merujuk pada prevailing, maka perpanjangan operasi diberikan bertahap. “Masih dalam proses negosiasi,” ujarnya.
Secara terpisah, Head of Corporate Communication Inalum Rendi A Witular menuturkan, pihaknya hanya melakukan negosiasi terkait poin divestasi 51 persen saham Freeport. Namun dia mengakui Inalum terlibat dalam pembicaraan posisi operatorship di tambang Grasberg. Dia menyangkal sudah ada kesepakatan bahwa Freeport yang bakal bertindak sebagai operator. Hanya saja Rendy belum bisa membeberkan lebih lanjut mengenai hal tersebut. “Masih dibahas,” tuturnya.
Kepastian operasi hingga 2041 memang dibutuhkan Freeport. Hal ini mengingat kegiatan tambangnya sudah ekspansi hingga bawah tanah (underground). Selain itu Freeport pun berkewajiban membangun smelter (pemurnian mineral) di dalam negeri. Negosiasi dengan pemerintah sudah berlangsung sejak Februari 2017 lalu. Rencananya pada akhir April ini sudah tercapai kesepakatan detail terkait divestasi, peningkatan penerimaan negara, perpanjangan operasi, dan pembangunan smelter.
Berdasarkan catatan, Freeport sudah mengajukan permohonan perpanjangan operasi sejak 2015 silam. Hal tersebut terungkap dalam surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang ditujukan kepada Chairman of the Board Freeport McMoran Inc James R Moffet. Dalam surat tertanggal 7 Oktober 2015 itu pun dijanjikan kepastian dalam aspek keuangan dan hukum bagi Freeport yang sejalan dengan isi kontrak yang saat ini berlaku.
Freeport bersedia melepas status Kontrak Karya (KK) dan beralih menjadi IUPK. Namun IUPK tersebut harus memberi kepastian hukum sebagaimana dalam KK. Oleh sebab itu perundingan dilakukan. Perubahan status IUPK seiring dengan kebijakan pemerintah yang melarang KK untuk ekspor mineral olahan (konsentrat) sejak Januari 2017 lalu. Hanya pemegang IUPK yang diizinkan ekspor konsentrat hingga 2022.
Hingga kini, tercatat sudah ada satu pemegang KK yang beralih menjadi IUPK tanpa proses negosiasi panjang yakni PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Amman sebelumnya bernama PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Perusahaan tambang ini berbasis di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.