a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Gara-gara Trump, Harga Tembaga Kembali Terdepresiasi

Gara-gara Trump, Harga Tembaga Kembali Terdepresiasi
Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga turun selama empat perdagangan berturut-turut. Penurunan terjadi setelah Presiden AS Donald Trump mengancam untuk menaikkan tarif impor lebih banyak terhadap produk China.

Sikap Donald Trump itu sekaligus meredam optimisme investor terhadap kesepakatan perdagangan AS-China.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (13/11/2019) tembaga di bursa London Metal Exchange ditutup di level US$5.835 per ton, melemah 0,58% menjadi level terendah sejak 1 November 2019.

Kepala Strategi Komoditas Saxo Bank Copenhagen Ole Hansen mengatakan bahwa komentar Presiden AS Donald Trump kembali meningkatkan sentimen ketidakpastian pasar di tengah situasi pasar yang berada dalam mode risk-on, atau berpihak terhadap aset berisiko yang berlangsung selama sebulan terakhir.
Baca juga: Ini Ribuan Lowongan CPNS untuk Lulusan SMA Sederajat, Maksimal 28 Tahun

Sebagai informasi, dalam pidato Donald Trump terbaru, dia mengatakan bahwa kesepakatan perdagangan fase pertama sudah semakin dekat, tetapi juga melontarkan komentar akan menaikkan tarif impor China sangat substansial jika kesepakatan gagal disepakati.

“Jika melihat harga tembaga, itu agak rusak. Tembaga telah memiliki tren bullish sejak awal Oktober, tetapi gagal bertahan di atas US$6.000 per ton,” ujar Ole seperti dikutip dari Reuters, Kamis (14/11/2019).
Baca juga: Viral, Nadiem Kunjungan Kerja Pakai Jeans dan Ransel di Punggung

Adapun, pada pekan lalu, tembaga sempat menyentuh level US$6.011 per ton, menjadi level tertingginya dalam lebih dari tiga bulan, setelah naik sekitar 8% sejak awal Oktober. Secara year to date, tembaga telah bergerak melemah 2,18%.

Kini, Ole mengatakan bahwa para pedagang fokus pada level support teknikal utama di US$5.800 per ton. Penembusan ke bawah dari level tersebut akan membalikkan arah pergerakan tembaga.

Di sisi lain, potensi masalah produksi yang timbul dari kerusuhan sipil di Chili, produsen tembaga terbesar di dunia, memberikan dukungan terhadap harga tembaga, walaupun sebagian besar penambang tembaga Chile menekankan bahwa operasional tambang akan berjalan normal.

Namun, sentimen tersebut tidak dapat menangkal kekhawatiran pasar terhadap kondisi ekonomi makro global yang terdampak dari perang perdagangan AS-China dan perlambatan pertumbuhan global.

Pertambangan Zijin berencana untuk meningkatkan produksi tembaga menjadi 670.000-740.000 ton pada 2022, yang berpotensi menggandakan output dari 370.000 ton pada 2019.

Sementara itu, persediaan tembaga di gudang yang dilacak LME turun ke level terendah lima bulan di 224.425 ton, sedangkan stok di gudang yang dilacak oleh Shanghai Futures Exchange telah menurun 44% sejak Maret hingga 148.687 ton.

Adapun, logam utama lainnya di bursa LME juga menurun. Analis Sucden Futures Janes Mirasola mengatakan bahwa pasar global secara garis besar tergelincir mengikuti sinyal membingungkan dari Presiden AS Donald Trump terkait kesepakatan perdagangan AS dan China.

“Komoditas logam dasar pun mengikuti tren pergerakan yang lebih rendah,” ujar Janes seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (14/11/2019).

Selain itu, berdasarkan rumah penelitian Antaike, konsumsi aluminium di China terlihat turun untuk pertama kalinya dalam 30 tahun terakhir karena permintaan domestik dan ekspor yang menurun.

Kinerja logam terlemah dipimpin oleh timah yang bergerak terdepresiasi 2,08% menjadi US$16.000 per ton, diikuti oleh seng yang melemah 2,02% menjadi US$2.422 per ton, dan nikel yang melemah 1,79% menjadi US$15.380 per ton.

Sementara itu, timbal dan aluminium masing-masing melemah 1,17% dan 0,73% menjadi US$2.035 per ton dan US$1.765 per ton.